Akhirnya diberi kesempatan untuk tour kembali ke Eropa setelah tahun 2017 bareng Jogja Noise Bombing dan terakhir 2019 lalu bareng Joe Million. Kali ini saya sendirian kesana.
Awalnya dari obrolan dengan Miao Zhao, salah satu member Gamut Kolektif berbasis di Zurich (Swiss) yang mengundang saya untuk ikut bergabung di event Gamut Labyrinth.
Ditarik jauh sebelumnya, Miao mempunya projek duo bersama Tizia, MM+TT, yang albumnya We Cry dirilis format CD & kaset via label saya, Noise Bombing. Sebelumnya lagi, dua project musik dari Swiss, Noijzu & Still Und Dunkel, juga saya bantu untuk tour di Indonesia. Jadi ini semacam gantian tour 🙂
Perjalanan dimulai dari Jogja ke Jakarta, tidur semalam di hotel kapsul bandara lalu terbang menuju Istanbul, transit sekitar 4 jam sebelum lanjut ke Zurich. Sebelumnya mampir ke konter Java Mifi di Terminal 3 bandara Cengkareng untuk mengambil modem internet biar internetan lancar selama tour nanti.
Gamut Labyrinth Festival di Zurich
Tiba di Zurich sudah malam pukul 11, dijemput Miao menuju ke EasyHotel di Limaplatz. Sesudah itu kami menuju ke Best Kebab untuk makan malam. Ini resto kebab 24 jam yang paling murah se Zurich, porsinya pun gede, bisa buat 2x makan.
Event Gamut Labyrinth sendiri berupa rangkaian pameran, screening film, artist talk serta performance yang dimulai dari 19-21 Oktober 2023 di beberapa venue. Pamerannya sendiri terbagi 2: pameran yang digelar secara offline di galeri Wartsaal Wipkingen serta versi online di www.gamutlabyrinth.com
Di Gamut Labyrinth event ini saya diajak menjadi kurator pameran online dengan menggandeng 5 seniman cum musisi Indonesia: Ayash Laras, Anissa Maharani, Sanjonas, Iqbak Tawakkal dan Dea Karina. Disamping itu, secara perdana kami menggelar movie screening Noise is Serious Shit!
Noise is Serious Shit! ini merupakan sebuah film dokumenter tentang noise di Yogyakarta yang disutradarai oleh Hilman Fathoni. Awalnya film ini diberi judul Jogja Noise: The Movie dan sempat diputar di Jogja Noise Bombing Festival 2018 tapi kemudian diedit lebih pendek durasinya lalu diberi judul Noise is Serious Shit!
Beberapa pelaku noise dan budayawan semisal Rully Senyawa, Ucok Lifepatch, Soni Seek Six Sick dan Ari WVLV ada di film ini. Kelar movie screening dilanjut dengan diskusi mengenai skena noise di Indonesia.
Sore hari sebelum event, Miao Zhao memasak makanan untuk makan malam bagi semua yang terlibat di event ini. Selama tiga hari berturut turut kami makan beberapa menu mie khas China dengan bumbu yang Miao bawa sendiri dari sana. Super lezat!
Di Zurich saya ketemu Marc Dusseiller alias Marjono, rekan seniman hacker & synth builder asli Zurich yang sering ke Lifepatch Jogja. March ngajakin ke laboratorium dia, di sebuah gedung semi squat yang digunakan oleh beberapa kolektif untuk venue musik, bar, restaurant, tempat workshop, lab juga kantor organisasi kepemudaan.
Ada Zentral Wascherei juga di gedung ini, venue gig yang cukup representatif. Sun Ra Arkestra dijadwalkan maen disitu beberapa hari setelahnya.
Ketemu juga sama owner Wunderkammer, venue yang pernah menampung duo saya sama Joe Million pada tour 2019 lalu, yang ternyata juga punya andil di gedung ini.
Sedikit cerita dari Marc, gedung ini sebenarnya terbengkalai tanpa penghuni. Sementara pemkot Zurich gak mau gedung ini menjadi tempat kumuh atau squat jadi mempersilahkan anak – anak muda yang tergabung dalam beberapa kolektif untuk memanfaatkan gedung ini sebagai semacam youth center dengan membayar sewa yang lumayan murah untuk ukuran tengah kota Zurich.
Hari kedua diisi dengan performance oleh beberapa seniman eksperimental asal Zurich, Berlin dan kota lain di Eropa bertempat di Wartsaal Wipkingen. Sementara hari ketiga penutupan, Gamut mengorganisir 2 gigs di 2 tempat dan waktu yang berbeda.
Di hari penutupan, gig pertama mulai sore hari bertempat di Wartsaal Wipkingen selanjutnya malam berpindah ke Umbo. Saya bermain di Umbo bersama Makosiri (Berlin) serta kolaborasi Miao Zhao & Luis (Bern). Luis ini orang dibalik projek noise Noizju yang pernah tour ke Indonesia sebelum pandemi.
Cukup puas dengan sound system yang ada di venue bawah tanah ini. Lapakan pun diserbu beberapa pembeli.
Sehari di Fribourg & Bern
Setelah beberapa hari di Zurich, berdua bersama Luis kami menuju Fribourg (Swiss) memakai kereta api selama 1 jam. Setelah berjalan 10 menit dari stasiun, sampailah kami di TRNSTN Radio (dibaca Transition).
Area tempat radio berada merupakan semacam taman untuk industri kreatif di Fribourg. Selain radio-nya, ada juga toko roti artisan dan juga The Playroom by SMEM (Swiss Museum & Center for Electronic Music Instruments) yang dijuluki sebagai tempat koleksi synthesizer terbesar di dunia.
Di program Neue Numeral, saya dan Luis banyak bercerita sambil memutar rilisan dari teman – teman Indonesia juga Amerika Latin. Neue Numeral sendiri merupakan program musik di Radio TRNSTN yang banyak mengulas tentang musik dari Amerika Latin.
Khusus edisi kali ini, saya diajak untuk ngobrolin tentang eksperimental noise di Indonesia serta beberapa koneksi saya dengan skena Amerika Latin. Awalnya memang dari band saya dulu, To Die, yang sering melakukan project split atau kompilasi dengan band – band dari Amerika Latin misal Ekuador sampai Paraguay.
Dua jam saja kami ngobrol dan nyetel lagu yang kemudian ditutup dengan saya memainkan set up noise live di radio. Mixtape untuk radio-nya bisa didengerin disini yak.
Setelahnya kami berdua memutuskan untuk menuju Bern memakai kereta.
Sekitar 30 menit perjalanan Fribourg – Bern, sampailah kami di stasiun Bern dimana kami harus berpisah. Luis menuju studio temannya untuk menginap, sementara saya (tanpa persiapan booking sebelumnya) memutuskan jalan sekitar satu kilo menuju pusat kota untuk mencari hotel.
Luis sempat menawarkan untuk ikut menginap di studio temannya tapi waktu itu mikirnya mau staycation semalam di Bern karena setelahnya bakal lanjut tour satu hari satu kota tanpa jeda. Dan benar juga perkiraan saya karena setelah itu gak ada waktu buat santai.
Menuju Grenoble
Dari Bern, saya melanjutkan perjalanan sendiri memakai Flix bus menuju Grenoble. Sempat miris dengan keadaan terminal bus Neufeld di Bern yang hanya berupa tanah lapang dengan beberapa kios yang tutup, satu coffee vending machine & snack, sebuah toilet portable, tenda tempat tunggu yang cuma berlapis papan tipis serta beberapa bangku outdoor untuk menunggu bus datang.
Gila, ini terminal bus antar negara di ibukota Swiss lho, kalah jauh sama terminal bus di Bantul. Cek aja review di Gmaps nya.
Tanpa ada petugas terminal satu pun yang terlihat juga tanpa papan pengumuman info kedatangan bis. Semua info termasuk keterlambatan bus dikirimkan via email, aplikasi Flix bus atau nomer hp yang digunakan untuk booking.
Dan benar, bus nya terlambat sejam.
Untung ada modem Java Mifi yang bisa diandalkan untuk internetan. Tanpa perlu ganti kartu dan satu modem bisa buat 5 devices. Cara pakainya pun gampang, tinggal tekan tombol ON di samping modem, tunggu sampai dapet sinyal, kalo udah nyambung tinggal masukin passwords wifi-nya.
Saya menunggu bus di bangku outdoor bersama sekitar 5 orang penumpang lain sementara udara pagi itu dingin sekali. Lucky me, ada jaket parka dan sarung tangan dari Maternal yang lumayan menghangatkan.
Akhirnya bus berangkat dengan tujuan akhir Barcelona. Sempat berhenti di beberapa kota termasuk Geneve dan Lyon, juga diberhentiin patroli perbatasan negara pas berada di perbatasan Swiss – Perancis.
Ada peristiwa ngeselin sih pas petugasnya nanyain 2 penumpang di belakangku, salah satunya ketawa ngakak mulu pas temennya ditanyain petugas. Makin lama lah interogasi-nya, bikin penumpang lain kesel juga. Apalagi keduanya selama perjalanan ngobrol kenceng mulu.
Tips aman, jangan pernah ketawa pas ditanyain petugas perbatasan, bisa dicurigai dan ditanyain lebih lama. Berujung bus nya jadi ketahan lebih lama.
Walaupun cuma disuruh nunjukin passport tapi tetep aja deg deg an, apalagi pengalaman tour 2017 lalu yang dibrentiin di perbatasan Jerman gegara petugasnya racially profilling pas tau passport kami dari negara Asia. Sampai petugasnya nelpon kantor sambil ngeja nama kami buat cek di data base mereka, sementara ke penumpang bus lainnya mereka cuma cek passport sekilas aja.
Titik Temu di Grenoble
Di Grenoble (Perancis), rencana-nya saya akan bertemu dengan dua teman tour Segitiga: Eric (Tzii) & Claudia (NuR). Eric ini teman lama dari Belgia sekaligus tour manager yang mengurus tour kali ini bersama Claudia yang juga alumni Jogja Noise Bombing Festival.
Bertiga kami akan melakukan tour ke 3 negara lain, jadi itu kenapa kami nyebut nama tour nya Segitiga: 3 musisi dari 3 negara yang tour ke 3 negara lainnya.
Sebelumnya Eric sedang residensi di Bergen (Norwegia) dan akan terbang 2 kali penerbangan dari sana ke Brussels lalu menuju Grenoble via darat.
Eric sendiri direncanakan berangkat dari Brussels ke Grenoble memakai van yang akan kami gunakan selama tour tapi sayangnya karena salah tanggal booking pesawat dari Bergen ke Brussels, Eric terlambat datang di gig Grenoble setelah menempuh 11 jam perjalanan darat.
Agression Sonore kemudian menggantikan Eric sebagai line up dari tuan rumah.
Sementara itu Claudia langsung datang dari Geneve dan kami bertemu di venue, La Cata. Nyampe La Cata yang masih sepi, saya disambut Martina, salah satu member dari La Cata yang dengan ramah menjamu serta bercerita sedikit tentang tempat ini.
La Cata sendiri sebenarnya adalah sebuah co-working space yang berisi beberapa kolektif terutama yang bergerak di bidang desain dan alternative media. Disini juga menyimpan beberapa zine dan publikasi mandiri yang mereka buat serta desain sendiri.
Ruang tamu mereka kemudian disulap menjadi sebuah venue untuk gig oleh organizer kami, duo tag team Miquel dan Thomas. Tanpa dinyana, ternyata Thomas adalah orang dibalik project noise lawas, Agression Sonore, yang sering saya baca di zine – zine kiriman teman dari Perancis di awal 2000an.
Teman – teman dari La Cata kemudian menyiapkan menu makan malam (sup labu, salad, humus, bagguette & kue) untuk yang maen dan juga yang datang nonton gig malam itu. Sementara team dari Miquel & Thomas menyediakan minuman, snack serta ngurusin tiketing dan sound.
Tiket dan makanan di gig kali ini sifatnya bayar se ikhlas-nya alias prix libre. Kecuali untuk bir dan wine serta minuman fermentasi yang dijual cukup murah sekitar 1-3 EUR saja.
Fyi, gig di Eropa biasanya menyediakan free flow beer & food untuk musisi yang maen. Organizer juga nyediain tempat menginap entah di rumah mereka atau disewain hotel. Untuk tiketing biasanya dibagi ke musisi tour dengan share yang lebih banyak dari supporting local band.
Di La Cata, urutan mainnya Agression Sonore, NuR dan saya maen terakhir. Gig kelar lebih awal sekitar pukul 10 malem karena letak venue yang berada di area perumahan. Eric sendiri datang tepat beberapa menit sebelum set saya dimulai.
Kelar dari La Cata kami menuju ke rumah Miquel & Thomas untuk istirahat malam itu. Pagi setelah ngopi, sarapan roti selai dan buah, kami bertiga bergegas menuju kota selanjutnya, Torino (Italia).
Menginap di Lokasi Syuting Film Koboi di Torino
Setelah sekitar 5 jam berkendara di area pegunungan, antara derasnya hujan tanpa wiper (karena rusak), sampailah kami di Torino. Ngopi sebentar di sebuah lapangan pinggiran kota Torino sebelum lanjut ke venue, Radio Blackout.
Di Radio Blackout kami disambut hangat oleh Adriano dan Emilio yang berbagi cerita tentang aktivitas mereka. Radio independent ini sudah beroperasi sejak 1992 yang kemudian membuka diri juga sebagai venue musik serta tempat untuk berkumpul & berorganisasi.
Tepat setelah kami kelar sound check, venue dipenuhi oleh orang – orang yang akan presentasi tentang kegiatan mereka. Sementara Emilio sibuk di dapur membuatkan kami sebuah menu spesial, penne pasta yang direbus dengan kentang dan saus creamy serta keju Scamozza.
Setelah makan malam bersama beberapa crew radio, gig pun dimulai dari Nur, Eric dan saya di urutan terakhir. Diluar dugaan, gig week day malam itu full house dan beberapa orang sempat membeli rilisan kami.
Kelar gig kami ditemani Adriano dan 2 temennya jalan ke tempat menginap sekitar 15 menit jalan kaki. Rumah tempat menginap kali ini berada di area industri kreatif yang dipenuhi coffee shop, restoran, barber shop bahkan tempat syuting film.
Paginya pas keluar area menginap, depan rumah sudah penuh dengan crew film dan rombongan aktor bergaya koboi lengkap dengan kuda-nya. Ternyata lagi ada syuting film tentang pembuat jeans Levi’s di situ.
Ziarah Kuburan Tempat Foto Kover Album Joy Division
Dari Torino, kami menuju ke Genova dengan satu tujuan, kuburan Staglieno.
Monumental cemetery of Staglieno adalah kompleks pemakaman di lereng bukit yang terkenal dengan deretan patung monumentalnya. Dengan area indoor dan outdoor seluas lebih dari satu kilometer persegi, tempat ini adalah salah satu pemakaman terbesar di Eropa.
Tujuan utama kami ke kuburan ini tentu saja berziarah ke 2 makam yang fotonya dijadikan sampul album Joy Division. Tepatnya foto pada kover depan single versi 12” Love Will Tear Us Apart serta album Closer.
Setelah muterin kuburan selama hampir sejam, ketemulah makam keluarga Ribaudo dengan patung malaikat yang sedang berduka itu. Sayangnya makam yang ada di foto sambul album Closer sedang direnovasi jadi tidak bisa didatangi.
Lorong Demi Lorong Menuju Palazzo Bronzo
Selanjutnya kami menuju ke venue gig malam itu di Palazzo Bronzo. Letak galeri seni ini berada dekat dengan Porto Antico, sebuah pelabuhan yang dipenuhi atraksi hiburan.
Palazzo Bronzo sendiri merupakan sebuah artist run space yang baru berdiri di tengah kota Genova. Terletak di labyrinth kota tua, galeri seni ini digadang gadang menawarkan a new cultural scene in town.
Area tengah kota ini memang mirip labirin dengan jalan kecil yang membingungkan. Apalagi mencari tempat parkir, sampai Eric bersama Marco, yang ngurusin gig, akhirnya ke rumah orang tua Marco nun jauh dari venue untuk memarkir van tour kami.
Gig malam itu menjadi bagian dari sebuah pameran yang baru dibuka seminggu sebelumnya. Antusias orang – orang disini sangat tinggi, terbukti dengan membludaknya pengunjung sampai keluar galeri juga beberapa yang memborong lapak kami bahkan sebelum acara dimulai.
Disini ketemu Giacomo, separo dari duo noise, Orqan, yang pernah dirilis split-nya bareng Sarana via Noise Bombing. Orqan ini juga dihuni oleh Luca, bassist dari band blackened hardcore Denmark, Hexis, yang sering tour full setahun itu.
Kelar gig yang hanya menampilkan kami bertiga, sebuah after party digelar di venue berbeda dengan line up DJ asal Genova. Tapi mengingat venue yang jauh dan besok pagi harus berangkat ke kota lain, kami pun sepakat balik ke tempat menginap.
Paginya kami menyempatkan diri untuk beli oleh oleh magnet kulkas serta nyeruput espresso langsung dari tanah kelahirannya. Kemudian bersiap menuju kota selanjutnya, Marseille (Perancis).
Summer Vibe di Marseille
Setelah melewati lorong demi lorong jalan tol menuju Marseille, sampai juga kami di area venue malam itu. Les 9 Salopards terletak di area tengah kota tempat orang – orang mencari hiburan malam, macam di Prawirotaman yang penuh dengan deretan pub kecil.
Setelah sound check dan makan malam, Eric mewanti wanti kalo area ini termasuk berbahaya, bahkan sebelum jam 7 malem itu sudah ada yang berkelahi di depan bar. Jadi ya mengurungkan niat buat muter – muter dan memilih ngabisin cemilan di backstage lantai bawah venue.
Sama seperti gig sebelumnya, yang main malam itu cuma kami bertiga plus DJ set dari Officium yang muterin track di sela pergantian set up. Tak dinyana disitu saya ketemu 2 alumni Jogja Noise Bombing Festival: Guillaume Siffert “Insultor” (owner Staalplaat records shop di Berlin) dan Sajjra (Peru).
Kelar gig kami menuju apartement milik Officium dan Catherine Danger, 15 menit jalan kaki dari venue. Officium ini aslinya dari Brussels, kami pernah maen bareng di Cafe Central 2019 lalu sebelum kemudian dia memutuskan pindah ke Marseille.
Setibanya di apartement diikuti beberapa teman, saya langsung pamit undur diri menuju kamar tidur sementara yang lainnya after party di ruang tamu. Capek dan besok harus lanjut ke kota lain bikin ngalah ga ikut party malam itu.
Pagi harinya, Eric ngide buat makan siang di restoran pinggir pantai Marseille. Kesanalah kami menuju via Old Port of Marseille yang merupakan pelabuhan bagi kapal yang akan menuju ke Afrika.
Area pantai Marseille memang unik karena sepanjang tahun selalu musim panas. Kata Eric, kalo naik kereta dari kota lain, bakal ngelewatin satu terowongan panjang sebelum masuk Marseille dimana daerah sebelumnya bersalju pas musimnya tapi setelah keluar terowongan itu jadi kayak masuk ke dunia lain karena cuacanya auto panas layaknya di pantai.
Anyway, restoran seafood langganan Eric dan Claudia ternyata tutup jadi kami asal milih restoran deket situ, Le Madraguin. Cumi, ikan dan kerang bakar jadi pilihan kami dengan side dish tomat dan kentang wedges porsi jumbo serta saus tar tar.
Jungle Adventure in Rompon
Malamnya kami sampai di Rompon, sebuah kota kecil di pinggiran Perancis. Telat sejam dari jadwal tapi gak papa karena yang maen juga hanya kami bertiga.
Sedikit menantang untuk menuju ke venue, Entre Chien et Loup, sebuah ungkapan dalam bahasa Perancis yang artinya diantara anjing dan serigala. Kata Eric ini tu ungkapan untuk menggambarkan penghujung hari ketika malam mulai turun perlahan.
Untuk parkir van, kami menuju ke halaman belakang venue melalui hutan kecil dan melewati sungai dangkal yang sudah dibikin jalan setapak, literally membelah sungai. Venuenya sendiri asik, sebuah bar yang homey di bawah tanah dengan dinding batu dan lantai semen. Sementara diatasnya ada rumah tinggal dan restaurant.
Gig malam Minggu kali itu tidak sesuai harapan karena yang datang sedikit saja but the show must go on. Ini gig tersepi di rangkaian tour tapi feel welcome banget, merasa kayak di rumah saudara sendiri.
Dijamu dengan makanan khas Rompon, ada brokoli, kentang dan terong panggang dengan saus khas daerah situ ada yang pakai terong di ulek gitu. Sehat banget pokoknya tanpa minyak.
Paginya kami dibawain makanan sisa jamuan semalam dengan tambahan buah serta roti dan beberapa botol wine. Sebelum menuju Geneva, kami mampir di pinggir sungai untuk sekedar piknik sambil makan siang mackerel khas Perancis.
Back To cave12!
Sampe di Geneve, kami mampir ke rumah Claudia karena malam ini dia gak main dan memutuskan pergi ke tempat lain. Jadi hanya saya dan Eric yang menuju cave12 sore itu memakai trem, van ditinggal di rumah Claudia, toh deket aja.
Kembali lagi ke cave 12 setelah sebelumnya maen disini sama Joe Million tahun 2019. Ketemu salah satu bos cave12, Fernando Sixto, yang masih inget tour terakhir itu.
Fyi, Sixto ini orangnya to the point, kalo suka bilang suka, kalo enggak ya bakal langsung ngomong. Sebagai artistic director-nya, dia salah satu orang yang mutusin siapa yang bisa maen di cave12.
Venue ini termasuk spesial buat musisi eksperimental, gak sembarang orang bisa maen disini karena ketatnya sistem kurasi dan antriannya selalu penuh. Good sound system (sub woofer ada 6 kalo ga salah), good food & hospitality serta tentu saja good payment 🙂
Makanya bisa maen dua kali di cave12 itu sebuah kebanggaan, sampe beberapa orang disana pada heran kok bisa maen disitu, saking susahnya ditembus. List beberapa musisi yang pernah maen disitu mulai Stephan O’Malley, Otomo Yoshihide, Senyawa, Keiji Haino, Wolf Eyes, ATTILA CSIHAR (Mayhem, Sunn O))) sampai Xiu Xiu.
Untungnya Sixto suka harsh noise, makin loud makin seneng. Tiap papasan pasti ngajak toss apalagi kelar maen, sampe meluk dan selalu beli kaos ku tiap kesitu 🙂
Event malam itu bertepatan dengan pameran poster gig yang digelar cave12 pada era 2012 -2015. Di tahun – tahun itu, cave12 mengajak seniman desain grafis dari Brussels, Harrison, untuk membuat artwork flyer gig mereka. Kumpulan artwork ini yang kemudian dipamerkan dan dijadikan buku.
Kelar makan malam nasi basmati dengan lauk meatball serta assorted cheese dan snack lainnya, gig dimulai oleh Eric. Setelah saya kemudian BZMC (Black Zone Myth Chant) dari Perancis menutup gig dengan set up modular synth-nya.
Di sela pergantian set up, Maudite memainkan pilihan lagu dari koleksi vinyl-nya. Pukul 1 pagi saya dan Eric memutuskan balik ke rumah Claudia, mengejar trem terakhir malam itu. Sementara after party di cave12 bisa lanjut sampai siangnya.
Last Leg of The Tour, Back to Zurich!
Akhirnya sampai di rangkaian terakhir tour Segitiga, balik lagi ke Zurich. Kali ini diorganizir oleh Enrique (Raout Cru) di Kunstraum Walcheturm.
Kunstraum Walcheturm sebuah venue musik kontemporer di Zurich dengan sound system mumpuni dan memiliki fasilitas rekam live streaming video. Kata Enrique, karakteristik venue ini sebenarnya lebih untuk mendengarkan secara seksama musik yang dimainkan di panggung, makanya disediakan kursi untuk duduk.
Seingatku ini venue terbesar dan proper dari segi apapun juga di rangkaian tour kali ini. Sayangnya waktu itu hujan jadi yang datang sedikit, mungkin sekitar 30 orang tapi menurut mereka “it’s not bad for a Monday gig”.
Dibuka dengan penampilan kolaborasi Caterina dan Miao Zhao, akhirnya saya sadar dengan karakteristik venue ini, yang makin bikin deg deg an takut salah maennya. Setelah Claudia, saya maen ketiga dengan memutuskan untuk main tanpa pedal effect.
Berani memutuskan full pake synth ini karena tahu sound system venue yang bagus dan juga melihat yang dateng semuanya duduk serta mendengarkan dengan seksama. Pas sound check udah nyoba sound tanpa effect yang menurutku memuaskan detail-nya ditambah listrik di Eropa yang stabil membuat sound makin enak.
Ohya, di tour ini saya pakai synth Tectonic Wave dari Sigit yang edisi spesial dibuat untuk set up saya. Ada 2 jenis synth di set up ini: satu untuk sound drone dan satunya lagi ke harsh, crackling noise gitu.
Eric menutup gig malam itu dengan set spesial yang hanya bisa dimainkan dengan sound system yang mumpuni. Mulai dari high sampai low frequency sanggup digelontorkan dengan maksimum.
Kelar gig kami menuju rumah Enrique untuk tidur di studio kerja-nya. Pagi hari-nya Eric dan Claudia harus menuju kota lain di Perancis untuk lanjut beberapa gig lagi.
Sementara saya ditemani Enrique makan siang terakhir di Zurich sebelum diantar ke stasiun menuju bandara. Setelah flight 24 jam ke Jakarta via Istanbul dilanjut 6 jam pakai kereta api ke Jogja, sampailah di rumah dimana dimulailah efek jet lag yang sampai tulisan ini dimuat masih terasa.
Terima kasih banyak untuk pihak yang sudah membantu tour kali ini. Dari Miao Zhao, Ayo & Gamut atas undangannya, Luis yang nemenin sampe Bern, Eric & Claudia untuk set up semua keperluan tour ini, semua organizers yang membantu gig di kota mereka, Dochi & KNURD, Java Mifi untuk internet tak terbatasnya, juga Odie & Maternal buat support-nya.
Banyak yang mungkin lupa kesebut but you know who you are!