Perkenalan saya dengan band ini sebenarnya diawali dari pertemuan saya dengan kerabat lama di infohouse bernama Peniti Pink.
Mungkin yang ngeh dengan skena zine 2000-an akhir, Peniti Pink merupakan sebuah infohouse yang di-running oleh Arie (Peace or Annihilation/Grave Dancers) bersama ex-nya, Ika.
Di infohouse tersebut, saya bertemu teman saya, Mila, yang mengatakan bahwa temannya bermaksud untuk mengirimkan sebuah submission untuk netlabel saya, StoneAge Records.
Tidak lama dari kabar tersebut, saya mendapatkan sebuah submission dari Indra Menus, yang dikenal sebagai inisiator dari kolektif ini, yang mengirimkan EP mereka yang berjudul “Jiwa-Jiwa Yang Terkumpul“.
Secara singkat memang EP ini telah membuat saya jatuh cinta walaupun memang pada saat itu saya sendiri belum terlalu berkenalan jauh dengan band ini.
Namun dengan seiring waktu dimana saya sempat merilis diskografi dari band ini secara marathon, saya akhirnya mengenal band ini secara keseluruhan.
Diceritakan, To Die memang awalnya diinisasikan sebagai sebuah band anak sekolah SMA yang mencintai Green Day yang pada akhirnya band ini menopangkan kakinya untuk berdiri kokoh di atas musik grindcore sampai saat ini.
Walaupun pada awalnya memang berformatkan sebuah band, memang sebuah keputusan yang tepat untuk pada akhirnya memutuskan To Die untuk berformat sebagai sebuah kolektif musik.
Enak kalau formatnya kolektif musik sih, gak perlu pusing soal personil, bisa ‘pasang-cabut’ sendiri aja sesuai kebutuhan hahaha!
Gak sih bercanda… Namun memang format kolektif ini memang diputuskan berdasarkan kepada kebutuhan dari fleksibiltas satu entitas musik itu sendiri. Baik secara sound ataupun etos kerjanya.
Dan memang To Die, secara musikalitas, memiliki petualangannya tersendiri apabila anda perhatikan dari setiap elemen dari diskografinya.
Mulai dari bereksperimentasi dengan konten lirik yang cukup emotive untuk standar band grindcore, format solo harsh noise, bass-drum powerviolence, sampai saat ini dimana kolektif ini touch down di area yang sedikit beririsan dengan sound 90’s metalcore.
Pada mini album yang berjudul “I Wanted To Watch A Face In Agony”, To Die kembali melakukan sebuah langkah progresif di dalam konten musik mereka dimana kolektif ini dengan mengkorporasikan elemen H8000 di dalam elemen musik mereka.
Dimulai dari track yang berjudul “Online Suicide Club”, dimana track ini diinisiasi oleh intro dengan sound gitar yang berat disusul dengan raungan blast beat drum dan shredding gitarwork yang insya Allah secara singkat dapat meluluh lantahkan kuping.
Disusul dengan track kedua berjudul “Charcoal Burner In A Sealed Car” dimana track ini dimulai dengan raungan panjang distorsi gitar yang terdengar seperti elemen sludge metal yang turut memeriahkan eksplorasi sound To Die pada album ini.
Saya mendegarkan banyak sekali shreding guitarwork pada album ini yang menunjukan bahwa To Die, khususnya album ini, memang mencoba berekspirementasi memasukan elemen H8000 metalcore pada album ini.
Dan memang hasilnyapun cukup memuaskan dimana saya sendiri yakin bahwa banyak pemerhati dari band ini akan menaruh ‘approval’ terhadap sound yang mereka usung pada album ini.
Lalu pada track yang berjudul “Paraliphic Psychosexual Disorder”, kolektif ini menginisiasikan track ini dengan aransemen ketukan drum yang danceable.
Disusul dengan mid-part yang enjoyable dimana To Die menyisipkan riff guitar ala Slayer, sebuah habit turun temurun yang dilakukan oleh banyak band metalcore 90-an sampai awal 2000-an.
Selanjutnya pada track “I Wanted To Watch A Face In Agony” yang dimana memang ‘makin ke sini kok musiknya makin metalcore aja si To Die ya!’
Asli track ini mah dari drum pattern sampai guitarwork-nya terdengar plek metalcore! Cuma bedanya ini mah track-nya terasa lebih pendek aja dibandingkan panjang lagu metalcore secara umum.
Dan pada akhir track untuk album ini diisi sebuah track yang mempresentasikan karakter musik To Die secara keseluruhan, yakni harsh noise yang berdurasikan 1 menit.
Yah gak nyiksa-nyiksa amat sih dengerin harsh noise 1 menit mah daripada dengerin track harsh noise 18 menit ye kan! #Ampooon
Mini album ini dirilis dalam format CD yang di-corelease oleh Relamati Records (Label yang diinisiasi oleh band ini sendiri dan Rat Girl Records (US), Cassette Tape oleh Unleash Records, dan 3″ CD oleh Above Ltd.
Dan gak sangka taunya mini album ini ada spotify-nya gan!
Mini album “I Wanted To Watch A Face In Agony” merupakan salah satu album lokal dari skena metal punk yang sangat kami rekomendasikan.