Aku tiba di Yogyakarta jam 3 pagi, sehari sebelum Cherrypop 2024. Cuaca di Yogyakarta sedang lumayan labil. Siang panas terik tanpa angin, malam dingin sekali. Katanya sih karena Australia sedang dingin juga.
Setelah beristirahat dan memenuhi agenda untuk bertemu teman-teman, besoknya aku datang ke Lapangan Panahan Kenari, Yogyakarta, yang didapuk menjadi venue Cherrypop 2024 dilaksanakan, selama 10-11 Agustus 2024. Lapangan ini tidak banyak teduhannya, teriknya matahari jadi langsung menembus kepala. Tadinya, helatan akan dilaksanakan di Kawasan Candi Banyunibo, tapi entah kenapa urung. Tidak ada keterangan mengenai hal ini. Kali ini aku tidak memotret, aku membawa Rio untuk jadi fotografer dan mata kedua demi mengamati acara ini.
Tema utama Cherrypop 2024 adalah sebuah perayaan terhadap perjalanan bermusik, khususnya bagi band-band yang telah berkarya selama satu dekade atau lebih, yang dirangkum menjadi tagline “Selamet Bermusik”. Dwiky KA, seorang ilustrator dengan gaya khas, bertanggung jawab atas visual keseluruhan festival dan menjawab tagline tersebut dalam bentuk konsep dan visual.
Jika bicara soal tujuan acaranya, Cherrypop 2024 bukan hanya sekadar festival musik, tetapi juga sebuah perayaan bagi seluruh pecinta musik dan pelaku industri kreatif. Dengan berbagai program dan penampilan menarik, festival ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi para musisi untuk berkarya dan berinteraksi dengan penggemarnya. Cherrypop bertujuan memberikan apresiasi kepada para musisi dan karya-karya mereka. Festival ini juga ingin mendorong pertumbuhan dan perkembangan skena musik Indonesia.
Cherrypop 2024 menyajikan berbagai program menarik, seperti;
Rekam Skena: Pameran arsip dan diskusi seputar skena musik. Rekam Skena disajikan dalam format pameran arsip berupa teks, foto, dan audiovisual. Pada acara Rekam Skena kali ini, bersama Pehagengsi juga mengadakan diskusi panel terkait konten multi ekosistem yang melibatkan pembuat video musik, komunitas pembuat konten, serta media sebagai katalisator pesatnya arus informasi di dunia permusikan dan sekitarnya.
Pena Skena: Lomba menulis tentang musik. Pena Skena di Cherrypop berkolaborasi dengan media musik Pophariini sebagai bagian dari program Bising Kota. Program ini bertujuan untuk mempromosikan bakat-bakat baru di bidang penulisan dan mendorong jurnalisme musik menjadi alat kemajuan budaya yang didorong oleh generasi muda. Ada pula band submission, kompetisi band untuk tampil di Cherrypop yang juga bekerja sama dengan Pophariini.
Record Store: Penjualan rilisan fisik musik. Cherrypop 2024 kembali berkolaborasi dengan Jogja Record Store Club menghadirkan record store yang akan menjual berbagai macam rilisan fisik musik serta kegiatan irisannya seperti signing session, spinning session, hingga lelang rilisan fisik. Tak hanya itu, ada rilisan-rilisan spesial yang secara eksklusif dirilis di Cherrypop.
Cherryshop: tahun ini Cherrypop akan menghadirkan sebuah booth yang akan menjual merchandise musik resmi, terutama dari merchandise dari band-band yang tampil di Cherrypop 2024.
Cherry Market: Pasar kuliner. Cherry Market menghadirkan sekitar 50 tenant makanan dan minuman dari brand-brand yang terkurasi.
Cherrykids: Lokakarya untuk anak-anak. Program ini berkolaborasi dengan Art Class Cikgu Indonesia yang akan menghadirkan lokakarya mewarnai.
Collective Corner: Ruang pertemuan bagi pelaku musik dan skena. Berkolaborasi dengan Lintas Kultura, mengadakan pameran dan diskusi sebagai ajang bertukar pengetahuan serta arena berjejaring antar kolektif musik.
Live Sablonase: Layanan sablon langsung di tempat. Berkolaborasi dengan Nasraya. Aktivasi cetak sablon langsung di tempat bagi pengunjung yang membawa kaos polos atau medium kain lainnya, dengan desain dari beberapa band yang perform di Cherrypop.
Selain dari semua aktivasi di atas, Cherrypop bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti media, seniman, dan komunitas musik, untuk menciptakan pengalaman yang lebih kaya. Festival ini akan menjadi ajang nostalgia bagi para penggemar musik, terutama bagi mereka yang telah mengikuti perkembangan skena musik Indonesia.
Panggung Cherrypop menampilkan lebih dari lusinan artis dari berbagai genre dan generasi musik, mulai dari band pendatang baru hingga band tahun 90an. Beberapa dari artis yang tampil akan membawakan set spesial yang menampilkan album lengkap mereka dan merayakan karya mereka.
Tentu saja kami tidak dapat menyaksikan semua band yang ditampilkan, kami memilih untuk menonton sebagian penampil yang menurut kami sesuai dengan keinginan kami untuk menyaksikannya. Beberapa nama yang kami saksikan adalah FSTVLST spesial set 1 dekade album Hits Kitsch (2014-2024), Majelis Lidah Berduri spesial set 15 tahun album Balada Joni & Susi (2009-2024), Rabu spesial set 1 dekade album Renjana (2014- 2024), eleventwelfth, Jirapah, Kaveh Kanes, LastKissToDieOfVisceroth (LKTDOV), Niskala, Sajama Cut, Silampukau, Sucka, dan Tigapagi. Sisanya kami saksikan sambil lalu saja.
Di hari pertama, pada pukul 14:40 penonton mulai antri di gerbang masuk Acara terhitung terlambat dari rundown yang dibagikan, tidak sampai sejam juga sih, tapi lama-lama terkejar keterlambatannya. Saat kami masuk ke dalam, Tama Yuri dan Sucka sudah di panggung, di panggung yang berbeda.
Entah kenapa aku tertarik untuk menyaksikan Sucka, bergeraklah aku ke panggungnya. Sucka cukup menarik mereka manggung dengan baju panjang mirip daster berwarna coklat. Aksi panggungnya cukup oke dengan vokalis perempuan yang punya suara lantang. Beberapa penonton terlarut dan ikut angguk angguk. Kalau tidak salah dengar, di lagu mereka yang berjudul “Bersama Tinju di Angkasa”, mereka mulai mendapat apresiasi dari penonton. Bicara soal perjuangan atas tanah, penggusuran dan genosida di lagu mereka yang berjudul “Kurang Ajar”. Di sepanjang penampilan mereka, beberapa penonton berjoget dan membuat moshpit kecil. Padahal cuaca sedang panas-panasnya.
Lalu, kami sadar kalau kami kepanasan. Kami melipir ke tempat jualan makanan dan minuman. Kami beristirahat sembari mendengarkan The Jeblogs bermain. Ternyata ada kebocoran suara dari panggung Laidback (yang berada di tengah, diapit panggung Cherry dan Nanaba). Lantas kami bergunjing, agak kecewa karena fokus menjadi terpecah. Suara bercampur baur. Mungkin jarak antara panggung ke panggung terlalu dekat sehingga hal ini terjadi. Dan ternyata sampai hari ke dua pun tetap begitu.
Setelah cukup punya energi setelah kepanasan, kami menghampiri Nanaba Stage. 16:00 tepat Jirapah naik membuka dengan “Muto”. Dilanjut dengan “Nafas”. Di sekitarku penonton ikut bernyanyi. Aku juga. Di saat yang bersamaan, Kaveh Kanes bermain pula. Aku mendengar sayup-sayup suara yang bocor dari panggung lain dengan hati yang patah. Aku mau kagebunshin agar bisa menonton keduanya secara bersamaan. Lalu fokusku kembali ke “I Too Was A Teenager”-nya Jirapah. “Sesak” dibawakan langsung untuk pertama kalinya sejak dirilis beberapa hari lalu. “Bekerja” dan “Planetarium” menutup repertoar mereka hari ini. Penampilan Jirapah cukup memuaskan, tapi sejujurnya ada yang ganjal. Musiknya seperti kurang bulat (?) dan sempat ada feedback terdengar di awal-awal. Bahkan “Planetarium” yang seharusnya sangat ciamik di bagian akhirnya, terdengar agak kresek-kresek. Nyatanya, tidak hanya panggung Jirapah yang mengalami ini.
Lalu, 16:50 eleventwelfth naik di Cherry, kami menonton dari kejauhan sambil makan bubur gudeg. Kami agak penasaran lalu berdiri dan mendekat ke crowd. Ambil foto sana sini, mengamati keadaan. Materi yang dibawakan kebanyakan berasal dari album terbaru mereka. Mereka main rapi, cenderung lebih rapi dari semua penampil yang sudah naik. Mungkin mereka sedang beruntung. Penonton sangat banyak, memenuhi lapangan depan panggungnya. Semua sing along sambil menikmati golden hour. Tentu saja mereka membawakan lagu wajib ‘kepalamu Gramedia’ dan semua bernyanyi sampai serak. Menyenangkan juga dan cukup kaget bahwa crowd Yogyakarta akan sebanyak itu untuk eleventwelfth.
Kami agak terlambat menuju panggung Silampukau, “Lagu Rantau” dimainkan. Penonton ikut bernyanyi. “Cinta Itu” kemudian dibawakan juga. Entah lah, apa yang menyebabkan kami merasa bosan menonton mereka. Padahal crowd-nya ramai, semua bernyanyi. Mungkin kami mulai lelah. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain ke Record Store, dan lalu ke FSTVLST di Cherry. Kami juga menonton sebentar saja karena cukup padat dan mengerikan crowd di sini. Setelah acara kami pun menemukan berita bahwa puluhan orang kehilangan handphonenya setelah nonton FSTVLST. Turut berduka cita.
Sekitar pukul 20:20 sesuai rundown, kami bergeser menonton Niskala. Niskala pernah aku dengarkan, tapi ini adalah kali pertama aku menonton aksi panggung mereka secara langsung. Ternyata mereka sangatlah keren live-nya. Bebunyian atmosferik meruang yang sangat aku sukai. Bahkan salah satu pemain gitarnya memainkan alatnya dengan penggesek biola dan mulutnya sendiri. Aksi tersebut sangatlah membuat aku bingung, berusaha mendengarkan komposisinya saja atau mau melihat aksi panggung masing-masing personel. Bahkan ketika mereka selesai tampil, aku masih bengong. Keren. Layak untuk menutup hari.
Rio juga punya pandangan tersendiri soal Niskala. Selain band-band besar seperti Seringai, The Upstairs, Rumahsakit yang masing-masing membawakan tajuk tertentu, perhatian Rio masih jatuh kepada unit post-rock Yogya, Niskala. Lepas dari segala subjektivitas dan biasnya yang sudah mengikuti mereka, sejak beberapa tahun lalu, penampilan Niskala di Cherrypop Fest 2024 menandakan berakhirnya diskografi Hourglass (rilis tahun 2018) dimainkan secara live. Mungkin para pendengar Niskala yang lain di masa depan tidak akan mendengar lagi “Seeing the Unseen” atau “Legacy of The Moon” yang indah itu. Memang sepertinya sudah waktunya untuk beranjak dan mencipta sesuatu yang baru, tidak lagi terjebak pada euforia masa lalu.
— hari ke 2
Di hari ke dua, kami mengawali hari dengan menonton Sajama Cut. Mereka membuka penampilan langsung dengan “Fallen Japanese”, dilanjutkan dengan “Lautan Yang Memeluk Cermin”. Marcel menyatakan bahwa ini adalah kali pertama mereka ke Yogyakarta. Sajama Cut juga membawakan chorus “Speaking Tongues” atas permintaan secara langsung dari seorang fans di internet. Lantas mereka menyanyikan “Kesadaran/Pemberian Dana/Gempa Bumi/Panasea”, “Mari Bunuh Diri”, “Terbaring di Pundak Pesawat, Termakan Api, Terlentang, Tersenyum” dan menutup penampilan dengan “Less Afraid”. Semua penonton berteriak ingin dinyanyikan “Adegan Ranjang 1981 ♥ 1982” tapi tidak dikabulkan karena mepetnya durasi. Cukup mengecewakan.
Rabu menjadi panggung selanjutnya yang kami saksikan. “Dru” dan “Baung” yang dibawakan bersamaan. Lalu mereka membawakan “Semayam”, sebelum akhirnya Talitha Neysa (dari Layang) naik ke panggung membawakan “Kemarau, Bunda dan Iblis” dan “Lingkar”. Sebenarnya rasanya tidak adil bagi Rabu yang seharusnya dapat merayakan sepuluh tahun album Renjana. Karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk menampilkan keseluruhan setlist mereka yang sudah disiapkan. Kesannya jadi sebatas marketing saja agar orang-orang ingin menonton. Tentu ini bukan salah Rabu.
Setelah menonton Rabu, kami menonton Tigapagi. Pukul 17:00, “Batu Tua” dikumandangkan. Aku agak kaget, karena ini penampilan yang agak berbeda dari harapanku. Aransemennya berbeda dengan adanya format baru saat ini, format yang full band bahkan ada drum segala. Dimensinya memang menjadi lebih eksploratif, tapi kurang magis saja jadinya. Berusaha menikmati, aku bersenandung selama “Alang Alang”, “Erika”, “Tangan Hampa Kaki Telanjang”, “Pasir”, dan “Vertebrate Song (The Maslow)” dimainkan.
Yang terakhir aku ingat adalah menonton LKTDOV. Aku cukup tidak peduli mereka membawakan lagu apa. Aku menikmati mereka sambil ngemil pizza jatah media yang diberikan oleh panitia haha. Mungkin ditatap sebagai orang aneh, ketika para penonton LKTDOV sibuk berbagi mic, aku malah makan. Lapar soalnya. Lalu tak lama, LKTDOV selesai. Sisanya? Kami hanya wara-wiri, menyaksikan penampilan sepotong-sepotong, dan memutuskan pulang karena rasanya badan ini pegal-pegal sekali.
Selain soal panggung dan sound yang tidak beres di beberapa penampil, kami juga punya concern terhadap sampah di sekitaran venue yang tidak dibuang pada tempatnya. Padahal, tempat sampah sudah disediakan di beberapa titik, yang menurutku tidak sesusah itu juga dijangkau. Kami mengira bahwa dengan tiket berbayar bisa menyaring target penonton yang lebih sadar kebersihan. Ini salah siapa? Salah yang kurang sadar saja sih, baik itu penonton maupun panitia. Selebihnya, acara ini menyenangkan karena banyak spot untuk bersantai dan bercengkrama dengan teman-teman yang juga datang.
Rio mengamini perihal kebersihan dan keamanan. Satu dua hal yang menurut Rio cukup krusial dan harus segera menjadi bahan evaluasi untuk perhelatan selanjutnya adalah soal keamanan penonton, karena pada penampilan tertentu, kami menemukan banyak laporan kecopetan. Selain itu update rundown yang dibagikan lewat sosial media cukup mepet (H-1) dan menimbulkan keramaian di kolom komentar. Yang paling penting, adalah soal manajemen sampah selama acara berlangsung. pengadaan akses tong sampah dan tenaga kebersihan yang Rio rasa tidak sebanding dengan banyaknya sampah yang dihasilkan selama acara, terbukti dari cukup seringnya terlihat sampah yang menumpuk di beberapa sisi venue.
Semoga dengan disampaikannya concern dalam artikel ini, bisa jadi catatan bagi panitia untuk membenahi dan merencanakan acara secara lebih baik di tahun depan, jika ada lagi. Selamet Bermusik, Cherrypop!