Words by Adam Sudewo
“Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaan saja, dia gila. Barangsiapa memandang pada penderitaan saja, dia sakit.” Itulah yang dikatakan Kommer ketika selesai membaca naskah Nyai Surati—sebuah naskah paling mentereng yang pernah ditulis Minke dalam semesta Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Apa yang dikatakan Kommer ada betulnya. Mengingat naskah tersebut memuat begitu banyak penderitaan yang merembesi dada Minke akibat mekanisme kekerasan feodal dan kolonial yang diraba dan dialaminya sepanjang hidup.
Kritik Kommer tentu tidak mengaras pada bagaimana naskah itu bekerja. Melainkan soal padandangan Minke terhadap hidup yang kepalang keras dan berat, seolah kepalanya dihuni bongkah bebatuan terjal. Persoalan tersebut, bagi Kommer, kelak membuat Minke tidak dapat mendudukkan harga manusia pada tempatnya yang tepat.
Sebab, “dengan hanya memandang manusia pada satu sisi, sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain.” Dan melalui hal macam itulah, Sunlotus unit heavy shoegaze asal Jogja berhasil menjuruskan EP terbaru mereka bertajuk “Fever” yang dirilis Disaster Records dan Greedy Dust Juni lalu.
Secara garis besar, “Fever” dibagi menjadi 2 babak saling berlawanan yang didasarkan pada ide tentang kesetangkupan (atau keseimbangan). Garnet (Shards of Eternal Flames) ft. Christabel Annora dan Skin Graft misalnya, adalah representasi padat dengan rentetan nada mayor terkait semacam perasaan haru dan kerelaan memasang tubuh untuk segala entitas yang berada di luar diri manusia.
Sebuah entitas yang mampu meletupkan perasaan-perasaan subtil dan hangat ketika kita tepat berada di sampingnya. Sebaliknya, Glass-like Dream dan Last Night I Dreamt That Somebody Loved Me (The Smiths Cover) adalah sebentuk kehilangan dan keterasingan akan hidup yang membebat manusia seperti selimut basah di jam 3 pagi. Lentingan minor, diminished, dan suara-suara yang mengambang menambah kesan mendung pada babak kedua EP ini.
Karena itu, alih-alih terjebak dalam ruang-dikotomi-perasaan, melalui 4 materi lagu yang terbilang ringkas, “Fever” justru memunculkan kompleksitas yang didistribusikan melalui hal-hal di luar tubuh manusia.
Sebab, sebagaimana judulnya, Feversecara literal berarti demam, Sunlotus berhasil menarik penggaris dan menggunting demam menjadi potongan kecil kemudian mencatatnya sebagai materi EP. Demam, kurang lebih adalah ketika tubuh terasa panas sekaligus dingin memabanting tulang. Mereka tentu tidak fokus pada efek klinis.
Melainkan merapat-mendekat dan memotret sesuatu yang kerap luput dari amatan namun tetap berada di lorong referensial yang sama. Dengan adanya guntingan perasaan di atas, mereka mulai memunguti momen-momen puitik yang berjatuhan dari hidupnya selama ini. Mulai dari keharuan melihat anak manusia terlahir di dunia, membongkar-pasang tubuh untuk seseorang yang dicinta, sampai mimpi yang menyerpih layaknya gelas kaca.
Salah satu dari beberapa hal tersebut tercatat dalam Garnet (Shards of Eternal Flames) ft. Christabel Annora. Terang saja, saya sangat kagum bagaimana Sunlotus menerjemahkan perasaan haru biru dengan begitu kolosal dan filmis dalam track ini. “Pure and holy // Shimmering waves calling // A gentle sweep // Falls asleep.”
Seolah kita dibawa pada potret terlahirnya seorang anak manusia yang suci-bersih dalam bentangan ombak berkilauan menyapu lembut. Berdasar interview personal yang saya lakukan dengan Made Dharma (Vokalis-Gitaris), ia berkata bahwa “Garnet (Shards of Eternal Flames) ft. Christabel Annora ditujukan pada sebuah perasaan memiliki, atau melihat kehadiran anak yang baru lahir…”
Meskipun belum memiliki anak, pikiran itu muncul ketika ia berbincang dengan salah satu vokalis musik eksperimental ternama di Jogja mengenai bentuk-bentuk kebahagiaan di dunia.
“Salah satu puncak kebahagiaan tertinggi yang bisa dimiliki seorang manusia adalah ketika pertama kali melihat kehadiran seorang anak yang baru lahir. Karena dengan segala keburukan dan kebusukan kita sebagai manusia dewasa, kita telah menciptakan nyawa yang suci dan bersih ketika pertama kali hadir di dunia.”
Pernyataan tersebut kiranya berada pada sebuah ambang. Menjadi sejenis antroposentrisme yang goyah. Di satu sisi, ia kagum dengan kemunculan manusia baru yang suci-bersih dan di sisi lain juga tak dapat menghindari betapa buruk dan busuknya manusia di dunia ini.
Memang, manusia dapat saling melindungi dan mengasihi satu sama lain, namun juga bisa saling menyakiti dan menindas satu sama lain. Terlalu banyak sejarah yang mencatat soal kebahagiaan dan penderitaan yang ditimbulkan akibat manusia. Dan hal tersebut diteruskan Sunlotus melalui lirik berikut:
“Your presence feels like calm nights // No more I weep this misery”
Sekilas, lirik di atas terkesan hanya berkisar antara efek kausalitas dari sebuah situasi. Namun, kita juga bisa melihanya sebagai respon Sunlotus terhadap penderitaannya yang diakibatkan manusia. Ia memasuki lorong-lorong yang terdomestikasi di mana para perempuan, sebagai sumber kehidupan, berusaha keras meniupkan mimpi akan hidup yang lebih baik pada anak-anaknya.
Sebelum anak-anak tersebut, mimpi-mimpi tersebut, dijagal sebuah sistem yang maskulin dewasa nanti. Di titik ini, Sunlotus tidak berlagak herois, sebab sama seperti anak-anak itu, ia juga merupakan korban. Ia paham betul penderitaannya dan menganggapnya sebagai kutukan selagi sistem tersebut terus berjalan-menindas.
Namun, apa pun yang kelak terjadi, Sunlotus tetap merasakan optimisme ketika anak-anak tersebut terlahir di dunia.
“Pour the water // Cast a stone // Lift my curse // From my bone”
Optimisme Sunlotus kemudian berubah menjadi semacam keralaan membongkar-pasang tubuhnya demi anak-anak tesebut dalam track kedua Fever. Skin Graft dibuka dengan kesaksian Sunlotus melihat anak-anak itu terbelah, berdarah, mati rasa, terkurung, ketakutan, lebur, dan terdiam.
“These splinters they crack you // I can witness the bleedings you have // Numb, framed and frightened // Meltdown and silenced”.
Kita bisa membayangkan anak-anak itu kian tumbuh dewasa dan dipaksa menghadapi sebentuk penderitaan yang sama. Terkait perang, krisis iklim, ketidakpastian hidup dan ekonomi, alienasi kerja, dan berbagai bentuk penderitaan lainya yang tak pernah terhitung pasti.
Barangkali, dengan melihat hal itu, apa yang dapat dilakukan Sunlotus adalah dengan mengorbankan dirinya sendiri, membongkar tubuhnya dan memasangnya pada tubuh anak-anak tersebut. Bagian ini secara masif dan repetitif dilakukan Sunlotus pada sebaran lirik selanjutnya. Semisal dalam lirik berikut:
“Wear my skin // Wear it as your armor”, atau “I shroud you in my wings”, atau
“Nothing will hurt you // I’m your sacrifice”.
Dari semua hal tersebut, bagian “Wear my skin // Wear it as your armor” adalah bagian paling menarik buat saya. Sebab, pada bagian ini tubuh tidak hanya dijadikan sebagai perangkat untuk berkorban, melainkan memuntirnya sebagai zirah untuk berperang.
Dalam artian, semua penderitaan yang diakibatkan manusia mesti dan bisa dilawan oleh manusia pula. Sebagaimana yang dikatakan Kommer kepada Minke setelahnya, “Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.”
Selanjutnya, Glass-like Dreams menjadi jembatan memasuki babak kedua Fever. Babak yang lebih mendung. Glass-like Dreams menawarkan sebuah perasaan tunduh dan hanyut dalam riak ombak di babak pertama.
Pijar piano di track ini seolah membawa saya telentang di tengah laut sambil memandangi langit mendung yang mulai menumpahkan hujan. Vokal terdengar begitu lembut layaknya ombak yang menjilati telapak kaki. Tak perlu penjelasan lebih jika Glass-like Dreams menjadi track favorit saya di EP ini.
Satu hal yang menarik adalah bahwa dalam Glass-like Dreams, Sunlotus mulai bermain-main dengan mimpi sebagai sesuatu yang juga mesti ia amati. Hal yang kemudian mereka representasikan dalam Shards of Dreams Tour 2023, yang juga berasal dari dua track Fever: Garnet (Shards of Eternal Flames) dan Glass-like Dreams.
Dari keduanya, Sunlotus menyepakati bahwa “mimpi bisa dilihat sebagai satu objek besar secara utuh, yang di dalamnya terdapat banyak fragmen/serpihan.”
Carl Jung, seorang psikoanalis asal Swiss, memiliki pandangan unik tentang mimpi. Ia mengembangkan konsep “arsetipe” yang mencakup simbol-simbol universal yang muncul dalam mimpi dan mitos di berbagai budaya. Sebagaimana Sunlotus menyebut mimpi sebagai satu objek besar yang utuh.
Semisal, kita bisa melihat kompleksitas perasaan manusia (yang dibahas sebelumnya) sebagai simbol universal yang muncul dalam tiap mimpi. Seolah kebudayaan manusia dibangun dan diruntuhkan oleh kompleksitas perasaan manusia itu sendiri.
Lebih jauh, Jung menganggap mimpi dapat memberikan wawasan ke dalam alam bawah sadar dan membantu individu mengeksplorasi aspek-aspek tersembunyi dari diri mereka. Semacam serpihan mimpi dari kesatuan besar yang dapat dijadikan jangkar untuk menavigasi diri meski dengan skalanya yang terkecil. “Salah satu ‘serpihan mimpi’ tersebut adalah bagi kami untuk bisa melihat dunia yang lebih luas juga.”
Memang, dalam dunia ini kita cenderung mengeneralisasi sesuatu agar lebih sederhana. Akibatnya, kita kerap melupakan hal-hal kompleks yang kecil dan justru membentuk suatu generalisasi tersebut. Tentang mimpi, semisal.
Atau hal-hal besar lain yang kemudian mengurung kita dengan lembut layaknya penjara. Melalui Fever, sekali lagi, Sunlotus mencoba mengeksplorasi kompleksitas perasaan manusia baik dalam kehidupan nyata maupun serpihan mimpi dan menghargai potongan perasaan tersebut sebagai sesuatu yang nyata dan beriringan.
Seperti yang dikatakan Kommer pada akhirnya, “Yang penting lagi adalah dapat menikmati hidup dan keindahannya, juga tidak menutup mata terhadap borok-boroknya..”