Lewat album konseptual ini, mereka bicara (dan berteriak) tentang kiat-kiat mempersenjatai harapan.
Setelah 7 tahun malang melintang, Rekah akhirnya merilis album perdana mereka yang berjudul “KIAMAT” di 1 Mei 2022, bertepatan dengan perayaan Hari Buruh Internasional. Album yang berisi 9 lagu ini dirilis dalam format kaset oleh Greedy Dust dan dalam format digital lewat The Storefront.
Saat terbentuk di 2015, Rekah masih memainkan skramz/blackgaze 2000-an konvensional seperti Envy, Deafheaven, dan Lantlôs. Namun, di album perdananya ini mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke luar zona nyaman.
Album berdurasi 50 menitan ini adalah upaya Rekah membaurkan segala jenis musik yang mereka gemari, mulai dari progressive rock, post-hardcore 2000-an, post-punk sampai dengan jazz ke dalam musik khas mereka. Selain itu, di album ini mereka juga bermain-main dengan siklus sebagai bentuk. Semua lagu disusun saling bersambung ke lagu setelahnya. Pun dengan lagu terakhir yang bersambung kembali ke lagu pertama.
Lantas, bagaimana dengan liriknya? Apakah Rekah masih bicara tentang kesehatan mental?
Jawabannya antara ya dan tidak. Bisa dibilang, “KIAMAT” adalah sekuel dari EP “Berbagi kamar” yang rilis pada 2017 lampau. Lewat album konseptual ini, Rekah bicara (dan berteriak) tentang kelindan antara kecemasan dan keputusasaan yang kita rasakan dengan penderitaan yang terjadi di sekitar kita.
“Saat nulis album ini, gue mulai menyadari bahwa bicara kesehatan mental nggak bisa lepas dari soal gimana cara bikin dunia yang bebas dari kerja dan eksploitasi. Gimana bisa sembuh kalo kita terus-terusan dipaksa untuk banting tulang cuma demi sekadar bisa bertahan hidup?”, tutur Tomo Hartono selaku penulis lagu dari Rekah.
Walau terdengar muram, namun Tomo tidak ingin menulis lagu-lagu tentang kekalahan. Ia percaya, perlawanan dimulai dari kesadaran. Hanya dengan menyadari apa yang salah dengan dunia ini, baru kita bisa mulai membayangkan dunia baru yang lebih menyenangkan. Semangat inilah yang menjadi nyawa lagu-lagu dalam album ini.