Dari zaman ke zaman, terminologi ‘poseur’ (yang kerap kali ejaannya salah dan malah lebih sering digunakan) seakan terus menyelimuti kancah musik – terutama yang independen dan konon lebih memiliki integritas di dalamnya. Kehadiran poseur seakan menjadi one common enemy di dalam suatu scene serta memberikan dinamika tersendiri untuk para pegiat dalam aspek pemerataan informasi subkultur yang terpaut dengan kancahnya – apabila sang pegiat tersebut cukup baik hati untuk melakukannya.
Tapi apabila ditelusuri lebih seksama, belakangan ini ada beberapa opini yang mencuat dari kancah musik itu sendiri yang menyatakan tak mengapa untuk menjadi poseur karena itu adalah sebuah fase dan malah dengan adanya poseur, ekosistem musik itu sendiri mendapatkan keuntungannya sendiri. Lantas, apakah status poseur kini tak lagi relevan?
Asal muasal terminologi
‘Poseur’ merupakan sebuah kata yang dicatut dari bahasa Perancis dan digunakan pertama kali di bahasa Inggris sebagai sebuah kiasan pada abad ke-19 dengan padanan kata yang kurang lebih bermakna, “berperilaku mengikuti sesuatu atau bergaya”.
Seiring waktu berjalan beserta transformasi penggunaan diksinya, ‘poseur’ akhirnya mengalami pergeseran makna yang bersifat spesialisasi (menyempit) serta bernuansa peyorasi (cenderung negatif). Pada kamus Merriam-Webster, istilah tersebut didefinisikan sebagai “person who pretends to be what he or she is not” juga “insincere person“. Cambridge Dictionary mendefinisikan “poseur” sebagai “someone who pretends to be something they are not, or to have qualities that they do not have“.
Dari paparan tersebut, terlihat bahwa diksi ‘poseur’ memang memiliki konotasi yang kurang baik dan cenderung negatif apabila digunakan dalam konteks tertentu.
Kaitan ‘poseur’ dengan musik punk rock
Di beberapa segmen musik, terminologi ‘poseur’ kerap kali diidentikkan dengan seseorang yang tak memahami konteks historis dan juga kultural yang terdapat di dalam ranah musik tersebut. Atau kasarnya, ‘poseur’ hanya penikmat musik kasual yang hanya tertarik akan musik dan fashion-nya belaka – namun tak mengindahkan aspek-aspek bersifat budaya yang berada di dalam lingkupnya.
Tindakan individu yang dicap sebagai ‘poseur’ kerap kali tak mendapatkan respon yang baik dari para pegiat musiknya sendiri. Ambil contoh – dan yang paling problematis sekaligus relevan – di segmen musik punk rock. Banyak sekali gesekan yang terjadi dari zaman ke zaman dari para pegiat mau pun penggemar terhadap orang-orang yang terklasifikasi ke dalam golongan ‘poseur’. Terutama di era formatifnya pada tahun 70-an dan 80-an silam – yang terkesan masih militan untuk urusan eksklusifitas ruang lingkup subkulturnya di kala itu.
Di era millennium sendiri, muncul beberapa opini dari beberapa pegiat punk rock yang lebih dulu sudah ‘berkiprah’. Salah satunya dari dan Brett Gurewitz (Bad Religion). Pada sebuah wawancara di media musik luar negeri, dia menyatakan bahwa penggemar ‘pop punk’ (era MTV 2000-an) adalah Sebuah gelombang baru dari ‘poseur’ yang datang ke scene melalui band-band seperti Good Charlotte. Dia menganggap bahwa para pendengar muda ini hanya ingin menggunakan musik hanya sebagai pelarian dan tidak mau memikirkan perintilan yang berkaitan dengan musik atau lingkup scene-nya sendiri.
Relevan atau tidak?
Tentu semua kekhawatiran dan kebanalan tentang ‘poseur’ terbilang masuk akal – terutama bagi mereka sang punk rock true believers yang masih yakin bahwa eksklusifitas adalah kuncian utama untuk scene yang mereka yakini sebagai identitas serta ruang lingkup kehidupan sehari-hari mereka agar tetap hidup.
Namun, di era serba ‘woke’ dan saling memaklumi pilihan manifesto tiap orang seperti di zaman ini, rasanya semua orang punya dalihnya masing-masing untuk menyukai sesuatu tanpa harus memahami seluk beluk akan hal tersebut.
Ada yang meyakini bahwa menjadi ‘poseur’ adalah sebuah fase yang lumrah dilalui oleh para pegiat skena sampai akhirnya dia mengetahui apa yang dia kerjakan. Ada pula yang tak peduli bahwa musik atau subkultur apa pun yang dilakukan oleh seseorang adalah hak kebebasan individu masing-masing. Bukan sebagai sesuatu yang bisa dihakimi oleh para pegiat yang terkait dengan aspek tersebut.
Untuk di ranah musik cutting-edge sendiri – yang konon berintegritas, hal tersebut terasa problematis. Di satu sisi, banyak pegiat yang mati-matian melakukan movement bersama kolektifnya demi menjaga nama baik serta eksistensi subkultur yang mereka emban selama ini.
Sementara di sisi lain, dengan munculnya pemakluman zaman sekarang yang seperti itu, akses semua orang untuk bisa mengklaim suatu subkultur menjadi tak terkendali – dan pada akhirnya, apabila ada yang salah kaprah, malah para pegiatnya sendiri yang harus berurusan dengannya.
***
Pada akhirnya, permasalahan ‘poseur’ ini sebetulnya masih pelik apabila tidak ada titik tengah dari dua generasi dengan pemahaman yang berbeda tersebut. Karena, mau tidak mau konotasi negatif sudah terlalu erat dengan diksi ‘poseur’. Serta, apabila dirunut dari sisi historis, sudah terlalu banyak karya dari punk rock yang mengabadikan kebobrokan ‘poseur’.
Jadi ketika ada tendensi untuk memaklumi ‘poseur’ seperti di era sekarang, alangkah baiknya apabila langkah diplomatis dan dua-arah yang bisa ditempuh untuk saling memahami. Bukan hanya dari satu sisi saja. Karena, mau tidak mau, identitas subkultur adalah sesuatu yang nyata bagi sebagian orang – bukan sekedar hobi atau profesi. Maka dari itu, jalur komunikasilah yang bisa digunakan untuk menjembatani dua konsep akan ‘poseur’ tersebut di masa mendatang. Who knows.