29 Oktober 2022, band saya Cubfires berkesempatan untuk menjadi salah satu band pembuka untuk Smoking Goose, band skatepunk asal Korea Selatan yang sedang melakukan DIY tour Jakarta & Tangerang. Gig hari itu dilangsungkan di Pop Hub Studio bilangan Jakarta Barat.
Dari berbagai band teman-teman yang tampil, favorit saya memang adalah Rejected Kids. Band ini sudah saya rutin dengarkan sejak SMA, agak surreal buat saya sekarang bisa kenal dan berteman baik dengan semua personilnya. Kepsir berat untuk gitarisnya, Tirta Saputra atau yang akrab dipanggil Petir. Karena bukan hanya aktif dengan band-band keren seperti eleventwelfth, Rejected Kids, Morfem, Ache, Bakarduka, dan masih banyak lagi, beliau adalah tokoh skena anti drama yang selalu mengorganisir band tur dengan semangat DIY, baik lokal maupun internasional.
Pada penampilan Rejected Kids hari itu, Petir menyelipkan sedikit orasi di tengah set-nya yang mewakili keresahan saya;
“Ayo pada semangat nge-band! Nge-band tuh santai aja, jangan dijadiin beban. Hidup kita udah banyak beban, masa bermusik masih jadi beban juga. Santai aja yang penting berkarya, seru-seruan terus.”
Mungkin tidak sama persis, tapi kurang lebih itulah yang saya ingat. Reaksi saya saat mendengar ini sangatlah senang karena ternyata Petir sepemikiran dengan saya. Saya pribadi yang cuma ingin menjadikan musik dan panggung sebagai wadah untuk meluapkan emosi dan bersenang-senang.
Gentle reminder, ini adalah POV saya pribadi. Saya sering lihat dan dengar keluhan beberapa teman skena baik di media sosial, maupun saat ngobrol santai di sebuah gig. Beberapa dari mereka burned out, karena tidak melihat progress signifikan dari karir musiknya. Beberapa dari mereka tidak henti-hentinya mengeluh merendahkan diri dibalut oleh self-deprecating jokes. Ada juga yang terang-terangan julid dan iri melihat band lain yang baru dibentuk dan hanya punya satu EP/album langsung main di festival besar dan punya banyak fans. Sambil menanggapi mereka, yang ada di otak saya adalah;
“Kenapa lo kaya gini sih? Padahal band lo udah keren banget dan gue malah iri sama progress band lo…”
Tidak, saya tidak ingin mengingatkan mereka untuk bersyukur. Karena saya tidak mau jadi ignorant yang menginvalidasi perasaan mereka. Jujur, saya pun pernah ada di fase ini. Tapi saya pribadi ingin kita semua untuk kembali mengingat apa alasan/tujuan awal kita bermusik. Untuk berkarya bukan? Untuk bersenang-senang bukan? Tapi tentu kita ingin tumbuh… ingin progress. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Mengingatkan sekali lagi ini adalah opini pribadi dan bukan patokan terbaik untuk semua orang. Menghindari burned out atau overwhelmed, yang harus kita lakukan adalah yang bisa kita lakukan; menciptakan materi terbaik yang memuaskan diri. Karena musisi harusnya sibuk bikin musik bagus, bukan sibuk bikin konten viral. Hal-hal di luar songwriting seperti marketing dan networking itu lakukan sebisanya, dijaga jangan sampai bikin stres atau malah annoying buat orang lain dan diri sendiri. Toh kalau musik kalian sebagus itu, the right crowd akan datang dan jadi pendengar setia bukan?
Kalau sudah melakukan semuanya sebisa dan semaksimal mungkin tapi belum “naik” sesuai ekspektasi, berarti belum rezeki atau pasar musik kalian di Indonesia mungkin memang belum sebesar itu. Tidak adil karena ada band yang materinya lebih jelek tapi karirnya lebih baik? Ya, hidup memang gak adil. Ingat lagi tujuan awal kalian, berkarya dan bersenang-senang. Sisanya cuma bonus.
Tujuan saya nulis ini cuma ingin fellow musician gak jadi demotivated dan tetap semangat berkarya. Biar tetap seru dan senang kalau ketemu di gig dan obrolan-obrolannya lebih positif lagi. Bisa saling minta review rilisan terbarunya, saling ngajak manggung, tur bareng, saling bantu promosi, dan lainnya. Ingat, parameter keberhasilan itu balik ke pribadi masing-masing. Kalian ngeluh soal karir bermusik stagnan, di luar sana banyak yang iri sama pencapaian musik kalian.
Harusnya musik jadi wadah meluapkan keresahan hidup, bukannya malah bikin hidup resah. Karena hidup kalian gak cuma melulu tentang skena.