“The work of caring for people is an essential but disavowed
and devalued aspect of capitalist societies.”
—They Call It Love: The Politics of Emotional Life, Alva Gotby
“MILIARAN perempuan membersihkan dunia setiap harinya tanpa lelah. Tanpa kerja mereka, jutaan karyawan dan agen kapital, negara, tentara, dan lembaga kebudayaan, lembaga kesenian, dan lembaga ilmiah, tidak dapat menggunakan kantor mereka, makan di kafetaria, mengadakan rapat, atau mengambil keputusan berharga di ruang bersih di mana keranjang sampah, meja, kursi, kursi berlengan, lantai, toilet, dan restoran telah dibersihkan dan siapkan untuk mereka” kata Françoise Vergès dalam pembuka A Decolonial Feminism (Pluto Books, 2021).
Ia juga menekankan bahwa pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang fungsinya diperlukan dalam masyarakat mana pun namun nyaris tak pernah terlihat.
Di satu sisi, pekerjaan itu sudah dilakukan perempuan selama berabad-abad tanpa mengeluh, tanpa masuk dalam hitungan mesin ekonomi, tanpa dinilai signifikan.
Dan Mother Bank, sekelompok ibu-ibu rumah tangga biasa sekaligus nasabah bank emok di Majalengka, menggunakan hal tersebut sebagai salah satu bekal proyek artistik mereka.
Mother Bank memulai dirinya ketika pandemi COVID-19 berhasil membikin sekarat sektor ekonomi di segala penjuru, termasuk di desa kecil di Jatiwangi-Majalengka.
Di sana, 80% warganya adalah buruh dan tentu saja mereka sangat terdampak.
Di saat seperti itulah, di tengah ketidakpastian ekonomi dan ketakutan yang menyileti telapak kaki mereka, tak ada pilihan lain bagi mereka untuk menyambung hidup kecuali dengan meminjam pinjaman uang di bank emok dengan akses yang mudah namun beresiko tinggi.
Melihat itu, Badan Kajian Pertanahan, yang merupakan bagian dari kolektif seni Jatiwangi Art Factory dan memang sudah lama bekerja dengan warga sekitar, memungkinkan adanya “sebuah intervensi keseharian melalui sebuah imajinasi baru yang artistik.”
Mereka memimesis bank emok dan membidani lahirnya Mother Bank.
Jika proses pengkaryaan adalah proses untuk mempertanyakan, maka pertanyaan yang mendasari terbentuknya Mother Bank adalah sebagai berikut:
“Bagaimana sebuah bank bisa berfungsi sebagai pengaman ekonomi, tapi tak berhenti di situ? Bisakah ia memberi jalan keluar bagi kebutuhan yang mendesak, tapi juga membangun komitmen jangka panjang bagi warga untuk berdaya bersama? Bisakah kami mendirikan sebuah bank yang melahirkan pengertian ekonomi yang sama sekali baru?”
Menariknya, sekumpulan pertanyaan tersebut tidak berhenti pada hal-hal yang nampak. Juga mengaras pada perkara mendasar macam “melahirkan pengertian ekonomi yang sama sekali baru.”
Dalam artian, mereka mencoba memperkarakan kembali pengertian ekonomi maskulin yang terus bersalin. Suatu kondisi mapan di mana kerja-kerja perempuan di ruang domestik tak pernah tercatat dalam sejarah tumbuhnya ekonomi.
Atau mungkin dalam sejarah minor macam perjuangan kolektif yang kerap luput dari amatan.
Lebih jauh, melalui Mother Bank, sebagai sebuah bank eksperimental yang tak hanya berfokus pada persoalan ekonomi, melainkan juga pemberdayaan komunitas warga yang tertindas dan sebagainya.
Mereka memungkinkan sebuah pendekatan berkelanjutan yang berpusat pada kesenian terhadap persoalan di ruang interaksi yang dekat dengan keseharian.
Semua itu termuat dalam EP perdana mereka bertajuk ‘Tanggung Renteng’ yang dirilis Yes No Wave Music 19 Juni 2023 lalu.
‘Tanggung Renteng’ yang secara literal berarti ‘ditanggung bersama’ hadir dengan tendensi, visual, dan audiovisual yang sama menterengnya.
Sebagai sekelompok ibu-ibu rumah tangga biasa sekaligus nasabah bank emok, mereka membagikan pengalaman mereka dan warga sekitar tanpa menyundul langit.
Seperti halnya tentang bagaimana mereka bertahan hidup dengan ‘gali lobang tutup lobang’, melihat lahan pesawahan yang memecah menjadi pabrik-pabrik, antusiasme pemuda Jatiwangi berbondong jadi buruh, ritual membeli Rocket Chicken sehabis gajian, sampai upaya para perempuan menjaga lahan dengan menanam.
Terkait visual, Mother Bank menjadikan buku tabungan cicilan bank emok berlatar kerupuk pesta warna sebagai cover EP.
Sesuatu yang tak mungkin dipikirkan siapa pun. Sedangkan untuk persoalan audiovisual, mereka menggunakan perkusi yang terbuat dari tanah liat macam keramik atau genteng.
Di samping memunculkan bebunyian yang relatif asing untuk sebuah karya musik, penggunaan perkusi tersebut merupakan bagian dari agenda besar kolektif seni Jatiwangi Art Factory yang selama lebih kurang 15 tahun berupaya menjaga wilayah dan tanah dari arogansi pembangunan dan menempatkan tanah di wilayah kultural.
Mereka menyebutnya sebagai musik keramik.
Tak tanggung-tanggung, berkat segelondong ide yang ditawarkan Mother Bank, mereka berhasil menjadi pembuka pada gelaran pameran Biennale Jogja XVI Equator 6 tahun 2021, mentas di Pesta Pora September mendatang, bahkan menjadi salah satu The Best Folk Music on Bandcamp: July 2023.
Bandcamp menyebut Mother Bank sebagai “… something that Sublime Frequencies might release, but with a special commitment to issues of labor, land, and gender that are particular to life in the margins in Indonesia.”
Mini album ‘Tanggung Renteng’ memuat 6 lagu yang masing-masing berayun di seputaran isu-isu perempuan dan hal-hal yang terjadi di Kampung Wates, bahkan sejak zaman penjajahan Jepang.
Wakare, sebagai pembuka ‘Tanggung Renteng’, melacak waktu yang sedih penuh pedang tersebut sebagai titik awal renovasi kegelapan di Kampung Wates dan sekitarnya.
Tahun opat puluh dua // Nippon nyieun lapang udara // Loba desa nu karumpak // Najan betah ge kuduh pindah.
Dengan waktu yang spesifik, mereka ingat betul bagaimana proyek lapangan udara adalah mesin awal penghancuran ruang hidup mereka, sampai menciptakan ketegangan kolektif hingga saat ini.
Memaksa mereka minggat dari rumahnya sendiri, dari hidup dan kebudayaannya sendiri.
Tahun 1942 adalah akar konflik agraria yang dialami warga Kampung Wates. Saat itu, tentara Jepang membangun lapang udara dan pangkalan militer di Desa Beber, Majalengka.
Meskipun proyek tersebut tidak mendarat tepat di Kampung Wates, warga Kampung Wates terpaksa berduyun mengungsi di desa sebelah karena keselamatan mereka terancam.
Mereka menggotong harta benda, rumah (yang saat itu berupa rumah panggung), bahkan jagat di punggung mereka sepanjang jalur pengungsian dengan telanjang kaki.
Peristiwa pengungsian itu disebut ‘wakare’, yang dalam Bahasa Jepang berarti ‘selamat tinggal’.
Buntu, Beber, Beusi, Pilang, Salawana jeung Cibogor, Kampek, adalah sederet desa yang kudu Wakare.
Ingatan akan peristiwa tersebut seperti darah segar-memanas bagi mereka, mengucur dari paha yang sedetik lalu tergores samurai.
Mengigat tanpa pikir panjang, mereka mengucap nama desa-desa yang masuk dalam mesin proyek lapang udara dan konflik berkelanjutan bahkan setelah Jepang hengkang.
Setelah perang memuai dan Jepang kalah di tahun 1945, warga Wates Kembali ke kampung halamannya.
Tetapi, tanah itu telah dirampas TNI AU yang dulu bernama AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) pada tahun 1950.
Klaim sepihak ini membuat warga Wates kesulitan mendapat hak atas tanahnya sendiri sampai saat ini. Konflik yang dihadapi warga Wates adalah salah satu konflik agraria terpanjang di Indonesia.
Hidup dalam kerangkeng konflik macam itu tentu telah menjadi bagian keseharian Mother Bank. Sebagai ibu-ibu rumah tangga biasa, mereka adalah yang paling terdampak. Seakan konflik bertengger di tepi ranjang mereka bahkan ketika mereka tertidur.
Ketika konflik berlangsung, misalnya, perempuan mesti menghadapi beban ganda: mereka turun langsung berjuang sekaligus menjaga keluarga agar tetap kuat menghadapi konflik.
Sepanjang tahun 2003-2019, Komnas Perempuan telah menerima 49 pengaduan terkait konflik agraria dan tata ruang sebanyak 49 kasus.
Mereka menemukan pola yang sama dari tiap konflik yang terjadi: pemindahan paksa, penggusuran, dan kriminalisasi dan kekerasan terhadap warga yang melawan. Tidak sedikit kekerasan yang mendarat pada tubuh perempuan.
“Rusaknya lingkungan hidup tidak hanya berdampak terhadap kesehatan perempuan tetapi juga memaksa perempuan menjadi pencari nafkah karena perempuan adalah penanggungjawab kesediaan pangan keluarga ketika suami mereka dikriminalisasi dalam konflik agraria”
Karena itu, Mother Bank boleh jadi sebagai sebagai sebuah potret representasi ketegangan dan kesunyian perempuan di tengah konflik agraria.
Ketegangan dan kesunyian macam itu terlihat dalam lirik selanjutnya “Lamun henteu gencang pindah // Eta imah tangtu rarusak” atau “Lamun urang leha-leha tangtu urang bakal cilaka”.
Lebih jauh, dalam menghadapi konflik yang berkepanjangan, Mother Bank menjawabnya dengan lagu ‘Menaman’. Sebuah ajakan masif menjaga lahan dengan terus menanam.
Lanskap kemudian bergeser dan kita melihat Mother Bank “Jalan-jalan ke tepi pantai” namun “Pulang-pulang dihadang badai” dalam lagu ‘Jalan-Jalan’.
Lagu ini seakan menandai babak baru yang dihadapi Mother Bank, dengan ketegangan dan kesunyian yang berlipat: bunga cicilan bank emok.
“Hati siapa yang tak gontai
Cicilan ke bank tak kunjung usai”
Santernya bank emok di desa-desa termasuk di Jatiwangi-Majalengka, tentu merupakan persoalan yang silang-selimpat, saling tindih.
Meskipun memiliki sejarah obskur, bank emok hadir di kehidupan warga Wates seperti guyuran rayap yang menggerogoti atap.
Dengan cara kerja sederhana; menyiapkan salinan kartu identitas; cicilan dibayar ‘tanggung renteng’ atau ditanggung bersama; pencairan dana yang licin sampai jutaan; bank emok berhasil merengkuh tubuh warga dengan tangan yang memanjang.
Walau dengan suku bunga besar mencapai 25%. Banyak warga Wates terseret bank emok imbas gerigi ekonomi keluarga yang macet, ditambah pandemi yang membikin keadaan makin linglung.
Tabungan dibongkar untuk memenuhi kebutuhan. Sementara besarnya bunga cicilan memaksa mereka hidup dengan ‘gali lubang tutup lubang’. Di titik ini, kemiskinan dalam bentuknya yang paling struktural, adalah penyebab mengapa warga Wates tergocek siasat bank emok.
Selo Soemardjan mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat karena suatu struktur sosial masyarakat yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Oleh karena itu, mengingat perampasan ruang hidup yang terjadi di Kampung Wates—yang berarti perampasan terhadap sumber daya dan pendapatan warga, membuat warga tak bisa mengolah materialnya sendiri.
Hal tersebut sedikit banyak dapat dipahami dan Mother Bank (baca: perempuan) adalah korban dari kemiskinan struktural tersebut. Kemiskinan memang tidak pandang gender, tapi dampaknya tidak netral gender.
Pada tahun 2022, sebanyak 9,68% dari perempuan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (garis yang menunjukkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan).Angka ini lebih tinggi dibanding persentase laki-laki, yaitu 9,40%.
Selain itu, pada 2021, jumlah pengeluaran per kapita laki-laki sebesar Rp 15,77 juta, sedangkan pengeluaran per kapita perempuan pada tahun yang sama hanya sebesar Rp 9,05 juta.
Data ini menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan di Indonesia.
Jika dilacak lebih jauh, hal tersebut diakibatkan karena konstruksi patriarki dan kapitalisme yang menarik garis tegas antara laki-laki dan perempuan.
Dikotomi antara publik dan privat, produksi dan reprodruksi, membentuk relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Termasuk dalam perihal ekonomi yang menjadi begitu maskulin.
Kerja-kerja reproduksi yang mencakup penggantian generasi seperti kehamilan dan mengasuh anak, serta pekerjaan sehari-hari macam memasak, membersihkan, mencuci pakaian, dan merawat orang sakit, difabel, dan lansia adalah sekumpulan kerja yang tak pernah masuk gross domestic product karena dianggap bukan sebagai aktivitas ekonomi.
“Reproduksi menempati posisi yang kontradiktif dalam perekonomian kapitalis. Hal ini diperlukan agar produksi nilai kapitalis dapat terus berfungsi namun di saat yang sama mengalami devaluasi; diarahkan untuk menjaga kapasitas masyarakat dalam bekerja namun seringkali terpinggirkan dari pekerjaan berupah dan perekonomian formal.”
Karena itu, keterjeratan Mother Bank pada bank emok bukanlah kesalahan yang disengaja, melainkan akibat struktur yang menindas mereka sebagai perempuan.
Membuat mereka tertawan bank emok saban hari.
“Senin PNPM // Selasa BPTN // Rabu Komida // Kamis MBK // Jum’at Sabtu Bank Keliling // Hari Minggu tak ada libur”.
Menjadi semacam garis lengkung yang mengurung. Namun perlahan, mereka menyadari hal tersebut sebagai sebuah kesadaran kolektif.
“Marilah kita maju bersama // Makmurkan desa // Bukan bayar bunga!”.
Dengan itu, mereka mencoba meledakkan garis lengkung yang mengurung mereka selama ini.
Selain konflik agraria berkepanjangan dan bank emok, Majalengka juga diproyeksikan sebagai kawasan industri. Seperti yang dikatakan Ridwan Kamil, “Dalam rentang waktu 10 sampai 20 tahun ke depan wilayah Majalengka akan menjadi wajah Jawa Barat karena pengembangan kawasan industri Metropolitan Rebana”.
Lahan pesawahan perlahan memecah menjadi pabrik-pabrik. “Setiap hari hilir mudik mudik // Orang muda pergi ke pabrik” Melihat itu, alih-alih menjegal hal tersebut, Mother Bank justru membuka ruang dialog dengan memperkarakan realitas subjektif dan realitas objektif.
Dalam lagu ‘Pabrik’ mereka mengeluh soal macet dan bising kendaraan dan lahan yang ambles jadi pabrik, namun disisi lain merasa diuntungkan karena bisnis “kontrakan melejit” dan “jajanan kampung laku melambung”. Barangkali ini adalah perwujudan dari kesadaran dan ketidaksadaran mereka yang tertawan dan tragis.
Mengingat sebagai warga biasa, mereka tak memiliki apa pun kecuali semangat untuk terus hidup. Sementara itu “Kakek Nenek ngasuh incu // Ayah Ibunya bekerja // Pergi pagi pulang maghrib // Untuk beli Rocket Chicken”.
Menunjukkan semacam potret keseharian keluarga buruh di Majalengka dengan upah yang hanya cukup untuk membeli makanan cepat saji.
Kondisi yang jungkir balik dengan proyek Metropolitan Rebana mengingat UMR Majalengka hanya menyentuh angka 2 juta rupiah dan menjadi yang terkecil se-wilayah Ciayumajakuning.
Selanjutnya, dalam ‘Bubaran Sunrise’, hasil kolaborasi Mother Bank dengan perempuan pengerajin keramik dari salah satu desa di Borubudur, Magelang, mereka menegaskan kembali beberapa persoalan yang dihadapi perempuan di tengah kungkungan isu-isu terkait.
Mulai dari kerja-kerja domestik (Buh..subuh..subuh // Bantu dagangan suami // Gi…pagi..pagi // Ke galeri masing-masing), cicilan bank emok (Saban dino nggawe gerabah // Terus diputer // Bayar cicilan sing muter), intervensi indurtialisasi (Jalan rame // Akeh duite), sampai upaya menghidupi budaya dengan mengolah tanah (Mengolah tanah tanah // Menghidupi budaya).
Sebab, apa yang paling berharga dalam hidup mereka adalah tanah. Melalui tanah, mereka dapat membentangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang melekat pada dirinya.
Menyangkut letak geografis, identitas, kebudayaan, bahkan hidup mereka sendiri. Mother Bank, beserta warga Wates yang tercerabutkehilangan tanah karena dirampas, kehilangan semua kemungkinan.
Dan dengan ‘Tanggung Renteng’ mereka berupaya untuk merebut tanahnya kembali, membangun identitas, kebudayaan, dan hidup mereka sendiri.
Pada akhirnya, ‘Tanggung Renteng’ ditutup dengan ‘Jor Bae’. Sebuah lagu yang mengaras pada hal-hal emosial Mother Bank dalam menghadapi konflik beruntun.
Mereka memilih untuk “Jor bae, teu kareyeung // Kudu na dimolorkeun // Kareup teuing”. Atau “Kajeun teuing, sakarep dewek, hoream sabodo teuing”.
Juga “Laleuleus lah, sangheuk, tararunduh, embung, teu harayang”.
Hal tersebut barangkali didasarkan pada pemberdayaan konflik yang menimpa Mother Bank tak kunjung usai.
Sejenis pemberdayaan yang mestinya juga bersifat struktural. Apa yang Mother Bank alami selama ini, mulai dari konflik agraria, cicilan bank emok, sampai intervensi industrialisasi, hanya menjadi indeks dalam sejarah lupa yang ditulis pemerintah dan negara. (Words by Adam Sudewo)