Melihat perkembangan gigs mandiri di Jogja selama ini, ada perubahan yang cukup signifikan di setiap era-nya. Kalo kamu tertarik mengetahuinya, yuk mari kita simak perkembangan gigs mandiri di Jogjakarta.
Tahun 90an sampai awal 2000an seringnya gigs mandiri (saat itu dikenal sebagai gigs underground) dibikin di venue skala menengah dengan kapasitas 500 – 1000 orang. Beberapa tempat itu diantaranya auditorium kampus (Universitas Wangsa Manggala/UNWAMA, Sanata Dharma, Atma Jaya), sekolahan (Sekolah Menengah Seni Rupa/SMSR, STM Jetis), balai kelurahan maupun gelanggang olah raga (G.O.R Kridosono).

Organiser gig di era ini biasanya berwujud komunitas tongkrongan yang membuat gig komunal dengan patungan antara panitia dan band yang ingin main.
Uang patungan ini digunakan untuk kebutuhan produksi acara yang seringnya diadakan di hari Minggu, biasanya setahun sekali. Dengan patungan range sekitar Rp. 30.000 – Rp. 50.000/band, 30an band bermain dengan durasi 15 menit dari pagi sampai malam.
Jogja Brebeg, Yogyakarta Hardcore Crust Grindcore dan One Family One Brotherhood (OFOB) Hardcore Fest adalah beberapa contoh gig di era tersebut.
Gerilya Magazine sempat merilis film dokumenter mengenai pergerakan musik underground di Jogjakarta pada era 2001.
Gigs Di Era Pertengahan 2000an
Gig era pertengahan 2000an kemudian berpindah ke venue yang lebih kecil dengan kapasitas 100 – 400 orang. Beberapa venue yang sering dipakai di era ini misalnya Bungker Cafe dan Jogja National Museum.
Gig di era ini masih sering diadakan pada akhir pekan tapi sifatnya lebih sering.
Baru tahun 2003 ketika band Jerman WOJCZECH dan G.LAS tour ke Indonesia, gig di hari kerja mulai menjadi sesuatu yang biasa.
Organiser gig di masa ini tidak hanya berwujud komunitas tapi lebih kecil (misal Kongsi Jahat Syndicate) bahkan cuma satu orang semisal Joko Problemo/Anselmo dengan ROXX Organizer-nya. Bahkan dulu sempat ada pepatah, belum sah menjadi band underground Jogja kalau belum pernah maen di gigs-nya Joko ini.
Di era ini, band dan panitia masih lazim patungan buat menutup biaya produksi sebuah gigs mandiri. Patungan per band sekitar Rp. 50.000 – Rp. 75.000.
Kalo ga nutup produksi terus gimana caranya? Ya organizernya nombok, ada beberapa cerita yang sampai ninggal BPKB motor ke pihak venue atau persewaan alat.
Dukungan dari distro semacam Slackers, Vernon mulai masuk sebagai sponsor gigs juga venue.
Beberapa gig kemudian berpindah ke venue yang lebih kecil (misal di Denni’s Lounge, Ouroe Cafe), bahkan studio gig (Antrax studio) dengan kapasitas 50 – 100 orang.

Aturan di beberapa tempat baru ini kemudian mengubah wajah gigs mandiri di Yogyakarta.
Banyak dari venue ini yang memasukkan syarat gig gratis untuk bisa memakai tempat mereka sebagai venue gig. Maklum, mungkin mereka gak mau rugi dengan calon konsumen yang ingin jajan di kafe mereka tapi gak mau bayar tiket pas masuk.
Dalam hal studio gig juga saat itu belum lazim untuk menerapkan tiketing di studio gig.
Sementara patungan band dan organiser gig tetap berlanjut untuk menutup sewa alat atau studio. Tradisi panitia nombok kekurangan juga masih berlanjut walaupun ga sebesar era sebelumnya. Jumlah band pun semakin sedikit, di era ini mulai sering gig dengan line up dibawah 10 band.
Dibawah nama Kongsi Jahat Syndicate, saya sering bikin gig mandiri gratisan di era ini. Banyak menghandle band tour dari luar negri yang ribet dengan tetek bengek ijin segala macam membuat kami memilih membuat gig tanpa tiketing atau kalau tiketing pun murah.
Sayangnya ini malah menjadi salah satu faktor pendorong budaya gig gratisan di Jogja.
Beberapa waktu kemudian banyak venue yang biasa untuk tempat gig gratisan ini mulai menghilang, sementara budaya gig gratisan masih melekat.
Munculnya Organizer Gigs Baru
Tahun 2014 saya kemudian bergabung bersama YK Booking, sebuah kolektif organizer gig di Yogyakarta yang fokus mengorganisir gig untuk band tour yang mampir ke Jogja.
Selain program crowdfunding yang berhasil membiayai pembelian satu set alat studio buat bikin gig, YK Booking juga punya program tiketing untuk nutup produksian, demi keberlangsungan gig mandiri kami.
Di era ini bersama beberapa organiser lainnya, kami memulai tradisi band gak ikut iuran alias biaya produksi sepenuhnya ditanggung sama organiser.
Seru-nya beberapa organiser gig yang muncul di era ini (misal Terror Weekend, Sekutu Imajiner, Ruang Gulma) juga mulai menerapkan konsep no ticket no show. Kampanye no ticket no show mulai digaungkan bersama.
Sebuah film dokumenter yang dibesut oleh 7Days Off berjudul Tuhan, Masukkan Aku Ke Dalam Skena merekam geliat organizer gig di Jogja circa 2014 – 2019.
Tapi seperti biasanya, selalu ada kesulitan untuk memulai sebuah kebiasaan baru.
Banyak yang masih bertahan dengan mindset gig mandiri itu gratisan sehingga enggan dateng ke acara bertiket plus juga banyaknya opsi acara lain yang ga berbayar.
Bahkan dengan standar tiket 10.000 untuk gig mandiri, YK Booking kadang belum nutup produksi alias tradisi nombokin gig masih ada aja walaupun gak sampai ninggal BPKB motor.
Baru di 2018 tiketing perlahan berhasil dinaikkan ke 15.000, lumayan bisa nafas alias gak sering nombok plus kadang bisa ngasih sangu ke band tour. Baru bisa ambil nafas, eh pandemi datang.
Gigs Di Era Pandemi
Selama pandemi ternyata memunculkan fenomena baru di skena musik independen Yogyakarta.
Selama pandemi banyak muncul coffee shop yang buka, kemudian menjadi tempat berkumpulnya anak muda yang suka musik. Mereka kemudian bikin band tapi bingung mau maen dimana karena pembatasan PPKM.
Kebutuhan venue untuk gig bertemu dengan coffee shop yang butuh pelanggan ini memunculkan konsep bikin gigs di coffee shop.

Belum lagi banyaknya organizer baru yang muncul dan bikin gig di tempat yang tidak terduga sebelumnya untuk mengatasi ketatnya pembatasan PPKM saat itu.
Munculnya gigs mandiri di coffee shop ini membuat sebuah budaya baru di skena musik Jogja.
Kebanyakan coffee shop ini menyediakan venue dengan menerapkan sistem yang mirip first drink charge dimana harga tiket sudah termasuk pemakaian tempat dan free produk minuman mereka bagi para pembeli tiket.
Ambil contoh harga tiket gigs mandiri sekitar 25.000, maka 10.000 untuk organiser gig : 15.000 bagiannya coffee shop yang ngasih free 1 cup of coffee/non coffee untuk pembeli tiket.
Harga tiket ini juga fleksibel semisal organizer gig pengen dapet keuntungan lebih buat nutup produksi dan bayarin band maka tinggal naikin share tiket untuk mereka.
Ohya, organiser gig disini juga masih harus menyewa alat studio, sementara kapasitas coffee shop yang minim sekitar 30-75 orang dengan rata – rata pembeli tiket sekitar 50 orang per gig masih belum ideal untuk menutup biaya produksi, bayar band yang main plus keuntungan untuk dibagi ke panitia.
Gak usah muluk – muluk pengen seperti gigs di Eropa deh yang bisa bayar band dan organiser-nya, setidaknya disini sudah ada mulai kesadaran kalau no ticket, no show.