"melamban bukanlah hal yang tabu"
Tidak dimungkiri dalam lanskap genre musik yang terus berekspansi, ada beberapa genre yang muncul secara diam-diam seperti ledakan gunung bawah laut. Genre yang semacam ini memberikan dampak yang besar meskipun sifatnya sederhana. Genre slowcore menjadi salah satu contoh bukti fenomena ini.

Sering kali dicirikan oleh pendekatannya yang melankolis dan minimalis, Slowcore lahir di akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an, kelahiran Slowcore menandai perubahan yang signifikan dari suara energik dan memberontak yang lazim di era itu.
Akar dan Karakteristik

Peletak batu pertama Slowcore dapat ditelusuri kembali ke band-band seperti Low, Codeine, Galaxie 500, dan Red House Painters. Para pionir ini memasukkan unsur indie rock, folk, bahkan unsur post-punk sehingga menciptakan musik yang menekankan tempo lambat, lirik introspektif, dan suasana syahdu yang menghantui.
Slowcore juga lazim disebut sadcore karena karakteristik depresifnya.

Salah satu ciri khas Slowcore adalah tempo lambatnya yang disengaja, seringkali disertai dengan instrumentasi yang jarang dan vokal yang lembut dan hening. Lambatnya musik dan kedalaman emosi yang disengaja membangkitkan rasa introspeksi dan kontemplasi.
Hal tersebut membedakannya dari tempo musik rock mainstream dan musik rock alternatif.
Istilah slowcore sendiri lahir karena kelakar seorang teman dari Alan Sparhawk (frontman Low) yang baru saja menonton panggung perdana mereka. Kemudian di salah satu interview media pertama bagi Low, Alan Sparhawk secara sedikit bercanda mengatakan bahwa apa yang mereka mainkan dinamakan slowcore.
Uniknya sebelum band slowcore/sadcore pertama muncul di Amerika, yaitu Galaxie 500. Di Jepang muncul band Hallelujahs yang mempunyai sound mirip Galaxie 500 yang dipunggawai oleh Shinji Shibayama pada tahun 1985 yang mendahului album pertama Galaxie 500 – Today yang muncul 1988.
Hallelujahs sendiri berangkat dari skena underground psychedelic dan rock di Kansai.


Pengaruh
Timeline dari Rock Alternatif
Dampak Slowcore melampaui permulaannya yang sederhana. Selama bertahun-tahun, pengaruhnya telah merambah ke berbagai genre lain, memengaruhi artis di seluruh spektrum musik. Band seperti Low, Bedhead, dan American Music Club semakin memperluas batasan Slowcore. Bahkan beberapa band seperti American Music Club, Karate dan Songs: Ohia mengawali karirnya sebagai band alt-rock, post-hardcore dan folk rock
Musisi-musisi tersebut kemudian memodifikasi tempo lamban tersebut dengan gaya dan interpretasi unik mereka sendiri. Akhirnya, slowcore juga menyisip ke genre-genre rock alternatif lainnya seperti jazz rock, emo dan math rock.
Pasang Surut

Meskipun Slowcore mencapai puncaknya pada tahun 90an, esensinya terus bergema di kalangan pendengar modern. Genre ini telah mengalami kebangkitan dalam beberapa tahun terakhir, dengan artis kontemporer seperti Lana Del Rey, The National dan Cigarettes After Sex dengan kehalusan sonik dan daya tarik melankolisnya.
Kebangkitan ini menyoroti relevansi abadi dan solidnya kekuatan emosi Slowcore. Sebenarnya jika dipikirkan kembali, Slowcore tidak pernah hilang dari peredaran dan dinamika industri musik. Beberapa artis seperti Mark Kozelek, Duster, Codeine dan Low juga rutin merilis album.
Revival dirasa bukan istilah tepat untuk menandai munculnya generasi baru band-band slowcore seperti Horse Jumper of Love, Grouper, Sharon Van Etten, Ethel Cain, Lana Del rey dan Cigarettes After Sex. Hal ini dikarenakan pola slowcore pun tidak banyak berubah dari dekade ke dekade.
Ethel Cain – من النهر إلى البحر (min an-nahr ʾilā l-baḥr/From the River To The Sea)
Pula slowcore tidak pernah menembus popularitas mainstream dalam bentuk movement, namun lebih ke popularitas solois dan grup musik yang merepresentasikannya.
Lain halnya dengan garage rock revival yang punya ciri khusus dari dekade 90an dan dekade 2000an. Istilah resurface mungkin lebih cocok untuk menyebut fenomena ini, terutama ketika Cigarettes After Sex membuatnya menjadi lebih populer di era pertengahan 2010an.
Mengambil dari lagu “Dinosaur Act” milik Low dari album Things We Lost in Fire (2001), memang slowcore ini berhasil bertahan tanpa punah karena tidak banyak sorotan tajam terhadap movement ini dan tidak pula dirayakan secara masif sampai mengalami masa puncak yang cenderung berada di titik jenuh.
Slowcore ada dan terus ada sebagai musik yang tepat untuk menemani momen-momen yang membutuhkan ketenangan dan kontemplasi.
Dampak Terhadap Musik Kontemporer

Meskipun sering menjadi genre khusus, pengaruh Slowcore terhadap musik kontemporer tetap terlihat jelas. Penekanannya pada suasana hati, atmosfer, dan kedalaman emosi telah meresap ke dalam berbagai genre, membentuk lanskap sonik indie rock, folk, dan bahkan elemen shoegaze dan dream pop.
Band-band yang sering dikaitkan dengan genre selain slowcore tersebut antara lain Slowdive, Karate, Pinebender, dan The Antlers. Untuk kancah musik Indonesia, hal tersebut bisa ditemui di band-band seperti Efek Rumah Kaca, Pandai Besi, Mati di Saturnus, Sky Sucahyo, Wangi Gitaswara, Enola dan Sunlotus.
Menjelajahi Narasi yang Terjalin: Pengaruh Slowcore pada Musik Emo

Rajutan genre musik yang rumit seringkali mengungkapkan hubungan yang tidak terduga, dan salah satu hubungan yang menarik terletak antara Slowcore dan Emo. Meskipun tampak berbeda, genre-genre ini memiliki elemen dasar yang sama yang mempengaruhi dan membentuk evolusi satu sama lain selama bertahun-tahun.
Slowcore, yang dicirikan oleh komposisinya yang atmosferik dan bertempo lambat, muncul pada akhir tahun 80an dan awal tahun 90an, ditandai dengan band-band seperti Codeine dan Low. Pendekatannya yang introspektif, melankolis, dan minimalis sangat disukai oleh pendengar yang mencari pengalaman emosional.
Bersamaan dengan itu, Emocore (kependekan dari “emotional hardcore) di era awal yaitu 1984 -1986, mengukir jalannya sendiri di kancah punk, menekankan lirik yang mentah, bergaya testimonial, dan penampilan yang penuh passion.

Terlepas dari perbedaan nyata mereka, Slowcore dan Emo bertemu di beberapa bidang. Sifat introspektif dari suara Slowcore, sering kali menggunakan instrumentasi yang jarang dan vokal yang pelan, cocok untuk kedalaman emosional.
Lanskap sonik yang intim ini bergema dalam kegemaran Emo dalam mengekspresikan emosi yang mentah dan rentan, menciptakan landasan bagi resonansi emosional bersama.

Seiring berkembangnya kedua genre, pertukaran keduanya menjadi lebih jelas. Band seperti American Football, Karate, Seam, Pinebender, Picastro, Sharks Keep Moving, dan Red House Painters mengaburkan batasan antara Slowcore dan Emo, memasukkan elemen dari satu genre ke genre lainnya.
Instrumentasi Slowcore yang lembut dan kontemplatif masuk ke dalam palet sonik Emo, memengaruhi band untuk mengeksplorasi lanskap suara yang lebih bertekstur dan bermuatan emosional. Secara lirik, kegemaran Slowcore untuk introspeksi dan gaya pengakuan Emo tumpang tindih secara signifikan.
Tema sakit hati, isolasi, dan pergumulan pribadi sangat bergema di kedua genre, mengundang pendengar untuk terhubung pada tingkat emosional. Dalam beberapa tahun terakhir, konvergensi antara Slowcore dan Emo terus berlanjut, dengan seniman kontemporer mengambil inspirasi dari kedua genre tersebut.
Pengaruh timbal balik ini telah menghasilkan gelombang musik yang menentang kategorisasi genre yang ketat, merangkul kerentanan emosional dalam lanskap sonik yang beragam. Menjelajahi hubungan antara Slowcore dan Emo mengungkap narasi menarik tentang bagaimana genre musik berkembang dan bersinggungan.
Kedalaman emosi dan kesediaan mereka untuk menyelami kompleksitas pengalaman manusia tidak hanya membentuk lintasan individu mereka tetapi juga berkontribusi pada lanskap musik yang lebih luas yang mengutamakan keaslian dan resonansi emosional.
Ketika para penggemar terus merangkul musik yang melampaui batas-batas genre tradisional, dialog yang berkelanjutan antara Slowcore dan Emo menjadi bukti kekuatan abadi dari penceritaan emosional melalui musik.