Jujur, saya sudah mulai lumayan jengah dengan pembahasan “ini bukan pop-punk, itu baru pop-punk.” Tapi bagaimana lagi? Mengingat bahwa kenyataannya masih banyak orang-orang konyol di luar sana yang salah kaprah perihal pop-punk dan segala kegenerikannya, saya masih percaya bahwa pop-punk masih bisa diperjuangkan keautentikannya.
Salah satu sosok yang membuat saya masih yakin dengan pendirian teguh saya perihal poppy punk rock adalah Timbo Chandler, pemilik Mutant Pop Records yang legendaris. Ya setidaknya gelar itu valid untuk saya dan para penggemar musik bernuansa post-Ramones di seluruh penjuru dunia lainnya.
Mutant Pop Records bukanlah label rekaman besar ala Fat Wreck atau Pizza Of Death, malahan semua aspek produksi dan promosinya dikerjakan seorang diri oleh Timbo. Label yang dibentuk pada tahun 1995 tersebut memang tidak pernah berfokus kepada kesuksesan komersil dan cetakan rilisan yang jumlahnya harus laku sampai ratus ribuan kopi. Timbo hanya ingin merilis sesuatu yang langsung ditujukan pada kolektor rilisan saja. Rata-rata rilisan Mutant Pop berformat vinyl 7” dan biasanya setiap cetakannya punya warna plat yang berbeda-beda.
Meski Mutant Pop tidak sebesar Lookout! Records atau bahkan Epitaph, label tersebut menjadi salah satu rujukan wajib para pop-punkers di era tersebut. Malahan, sampai sekarang Mutant Pop masih menjadi parameter valid seputar pergerakan pop-punk underground yang berhasil mendokumentasikan rilisan-rilisan langka dengan cara dan etos yang tetap membumi sekaligus masuk akal dalam praktiknya. Intinya, eksistensi Mutant Pop adalah bukti bahwa menjadi legenda bukan harus menjadi mengikuti pasar atau tren. Cukup menjadi konsisten saja.
Untuk meyakinkanmu bahwa pembahasan seputar pop-punk tidak sesempit celana skinny jeans para personil Neck Deep, silahkan simak obrolan singkat saya bersama Timbo di bawah ini. Oh iya, kalau ada pernyataan soal pop-punk yang menyinggung kamu, nikmati saja ya. Everybody’s entitled to their own opinion as long as it makes sense and doesn’t hurt your life. Enjoy.
Halo Pak Timbo, terima kasih buat waktunya buat ngobrol-ngobrol ya
Halo Prabu! Seneng banget bisa ngobrol sama kamu dan hallo juga para band dan fans punk rock di Indonesia!
Boleh diceritain enggak kenapa milih nama Mutant Pop sebagai moniker label yang bapak kerjain sekarang?
Saya lahir di tahun 1961 dan ketika punk rock tiba di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, saya sedang berada usia yang tepat. Saya pun lambat laun mulai menyukai punk rock dan mulai membeli album-album punk yang rilis di tahun itu. Kamu sebutin deh, band-band macam The Clash, Sex Pistols, the Damned, Rezillos, X, Gang of Four, Holly and the Italians, Pretenders, Devo, Elvis Costello, the Cars, the Dickies, the Ramones, Dead Kennedys, the B-52’s, the Buzzcocks, the Police, Stiff Little Fingers, dan band-band sejenis dari era itu saya suka banget.
Tapi di pertengahan tahun 80-an, banyak band favorit saya tadi yang bubar atau malahan merubah musiknya. Saya lumayan kesel waktu itu. Tapi akhirnya saya terselamatkan oleh hobi baru saya di sekitar tahun 1984-an. Yaitu mengkoleksi rilisan 7”. Lewat mengoleksi format rilisan itu, saya masih bisa menemukan band-band punk Inggris yang lebih lawas dan obscure. Tentunya itu mengobati kekesalan saya terhadap jeleknya musik di dekade tersebut.
Dan sampai akhirnya di penghujung tahun 80-an, musik-musik keren mulai muncul kembali. Salah satunya yang saya suka adalah grunge ala Seattle. Saya suka banget sama Pixies waktu itu dan salah satu cara buat bisa dengerin lagu mereka lebih intens adalah lewat program radio kampus. Selain grunge, saya pun mulai tertarik sama scene poppy punk rock yang berasal dari Bay Area di California. Berkat kemunculan scene Bay Area, berbagai daerah di Amerika Serikat pun ikut membuat scene lokalnya masing-masing, termasuk di kota saya sendiri, Oregon.
Perubahan iklim musik di tahun tersebut tentu membuat saya seneng banget! Soalnya saya kira musik poppy punk rock yang “orisinal” ala Ramones atau Buzzcocks sudah mati di pertengahan tahun 80-an. Tahu sendirilah, kan tahun itu metal lagi gila banget. Saking keranjingan perubahan iklim musik tersebut, saya pun mulai rajin lagi mengkoleksi rilisan-rilisan poppy punk rock di era itu, termasuk rilisan-rilisan dari Lookout! Records. Saya pun mulai menyukai Green Day, Screeching Weasel dan The Queers berkat momen itu. Waktu itu, saya sempat membuat fanzine untuk menunjukkan antusiasme saya terhadap scene pop-punk yang sedang ramai di tahun itu. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk membuat label rekaman saya sendiri.
Oh nama Mutant Pop ya? Saya pinjam nama itu dari nama sebuah kompilasi yang dirilis oleh Fast Product di Inggris pada tahun 1980. Saya rasa nama Mutant Pop sangat mendeskripsikan punk rock yang sesungguhnya, bukan musik hardcore yang asal teriak dan orang-orang seringkali menyebutnya sebagai punk rock.
Di Indonesia, seringkali muncul diskusi soal musik pop-punk. Ada yang bilang pop-punk itu musik yang dimainkan oleh Blink-182 atau New Found Glory. Ada juga yang bilang kalau pop-punk itu musik poppy punk rock yang diwariskan oleh Ramones. Menurut pak Timbo sendiri, pop-punk itu yang seperti apa sih?
Itu bukan musik yang sama, iya enggak? Di tahun 90-an, dua genre bersaudara itu memang disebut sebagai “pop-punk”. Biasanya orang enggak bisa suka keduanya, cenderung hanya menyukai satu sound saja. Saya masih menganggap musik rock cepat bernuansa audio full polesan dengan drum dustak dustak ala Bad Religion itu sebagai “melodic hardcore” atau California sound. Sementara musik punk rock yang bertempo sedang, cenderung mentah dan terinspirasi dari sound Ramones masih saya kategorikan sebagai pop-punk. Dulu saya sempat menyebutnya sebagai “buzzpop” tapi rasanya masih kurang sreg.
Mengacu ke pemahaman saya tadi, saya masih meyakini kalau musik bernuansa post-Ramones dan apa yang saya selalu rilis di Mutant Pop sebetulnya adalah punk rock ala Inggris yang punya tampilan baru. Tapi mungkin karena citranya yang terlalu poppy, akhirnya malah identik dengan istilah pop-punk. Sama halnya dengan keanehan kenapa melodic hardcore malah disebut sebagai pop-punk. Ya mungkin musiknya poppy dan berstruktur punk rock juga. Tapi saya masih enggak ngerti kenapa mereka harus menggunakan istilah pop-punk untuk musik mereka padahal enggak memberikan konteks yang jelas juga dalam musiknya.
Ah intinya, para penggemar pop-punk post-Ramones enggak pernah bakalan berhenti menyebut musik itu sebagai pop-punk meski para umat melodic hardcore tetap bersikukuh menggunakan istilah tersebut. Dua musik itu sama sekali berbeda. Secara jangka panjang, enggak bakalan berpengaruh dengan apa yang kita sukai!
Mutant Pop sempat hiatus hampir 20 tahun dan akhirnya sekarang kembali lagi. Selama itu pak Timbo ngapain aja? Tetep ngikutin perkembangan scene pop-punk enggak?
Saya beneran ngilang banget dari musik selama era itu. Saya pun fokus nulis beberapa buku soal sejarah di waktu itu. Saya jadi salah satu penulis untuk buku yang berjudul Lovestoneites yang membahas soal partai komunis di Amerika pada tahun 30-an silam. Saya juga sudah menerbitkan tiga volume dari proyek yang harusnya berjumlah enam buku berjudul Selected Works of Eugene V. Debs. Volume keempat sekarang lagi disunting dan harusnya bakalan terbit tahun depan.
Jadi ya, saya sama sekali enggak ngikutin perkembangannya selama ada di masa itu. Malahan waktu itu saya semacam ketakutan sendiri. Takut kalau pop-punk bakalan mati. Tapi ternyata pas saya balik lagi, suasananya lebih oke dibanding di tahun 2000-an silam. Rasanya seru banget bisa nemu banyak band baru keren yang saya sempat lewatkan pas saya menghilang.
Banyak banget parody sleeve Mutant Pop yang dilakukan oleh banyak label pop-punk di berbagai belahan dunia. Pak Timbo enggak masalah sama itu kah? Atau pernah ada enggak kejadian kurang enak perihal parody sleeve Mutant Pop selama ini?
Enggak kok. Saya rasa kalau ada yang bikin kayak gituan itu malah jadi semacam penghormatan buat saya. Kayak kamu (Geekmonger Records) juga ‘kan pernah bikin, Kazu dari Waterslide Records (Jepang) pernah bikin, Rami dari Killer Records (Finlandia) juga pernah. Saya sama sekali enggak ada masalah dengan hal itu. Malahan seneng banget.
Eh ada deng satu yang menyebalkan. Ada orang goblok dari Oregon yang mengunggah rilisannya dia ke Bandcamp pake nama dan desain saya. Dan itu tuh bukan rilisan beneran tapi cuma buat ngejek scene pop-punk doang. Anjing banget. Bangsat kau, Ryan Manhole!
Tapi sisanya yang bikin parody sleeve bakalan saya doain masuk surga, ha ha!
Pak Timbo ngikutin juga enggak sih scene pop-punk di luar Amerika Serikat? Terutama di Asia?
Kayaknya kalau Jepang saya masih ngikutin sih. Mereka semacam kayak pusat ekonomi untuk dunia punk rock. Para pelaku label di sini biasanya bikin CD dengan biaya HPP $2 dan dijual dengan harga $6 atau $7. Dan kerennya, penjualan paling aktif malahan dari para pendengar di Jepang.
Selain dari segi ekonomi, kayaknya beberapa band yang saya kenal dan pernah manggung di sana selalu merasa senang. Kayak Kung Fu Monkeys dan Sicko. Oh, juga band-band pop-punk dari Jepang yang saya tahu sejauh ini memang selalu keren dari segi kualitasnya.
Tapi saya harus mengakui kalau saya emang enggak pernah tahu tentang scene di Indonesia. Seandainya Maximum Rock ‘N Roll masih seaktif dulu, harusnya mereka bisa memberitakan scene di sana. Yang saya pantau dari internet dan hasil obrolan dengan kamu sepertinya scene punk rock di Indonesia seru banget!
Ngobrolin Asia, Pak Timbo pernah ada niatan buat merilis band-band dari Asia enggak?
Pas awal-awal Mutant Pop jalan, saya cuma membatasi diri buat merilis band-band dari Amerika Serikat, Amerika Utara, dan Kanada. Karena waktu itu saya cuma berniat mengencangkan sedikit jejaring scene pop-punk yang masih kecil. Supaya jalur komunikasi antar band di era itu tetap terjaga.
Dan sekarang saya cuma punya dua agenda lewat Mutant Pop: merilis “harta karun” dari scene Amerika Utara yang muncul di periode 90-an sampai awal 2000-an dan merilis band-band yang punya harmonisasi lebih nyaman. Saya lagi enggak mau merilis band-band yang punya harmonisasi “berat”, kayak Jon Cougar Concentration Camp atau Dillinger Four. Jadi kalau ada band dari Jepang, Indonesia, Australia, Italia bahkan Jerman yang minta saya rilisin sesuatu untuk band mereka, saya enggak mau.
Pak Timbo pernah lihat atau nemu barang-barang dari Indonesia enggak di kehidupan sehari-hari?
Palingan dari koleksi prangko saya aja nih. Waktu masih kecil saya suka mengoleksi prangko dan punya beberapa prangko dari Indonesia. Sama kopi palingan, saya suka minum kopi Java Arabica sampai sekarang.
Ada rekomendasi rilisan Mutant Pop buat para pembaca yang enggak tahu apa-apa soal label pak Timbo ini?
Mungkin dua rilisan Mutant Pop terbaik buat saya adalah Earthbound for the Holiday dari the Connie Dungs dan Hit The Rock dari Dirt Bike Annie. Tapi karena rilisan Connie Dungs sudah out-of-print, mending cari yang Dirt Bike Annie aja. Yang masih tersedia dari katalog Mutant Pop di antaranya ada Egghead – Dumb Songs for Smart People dan School’s Out, Surf’s Up, Let’s Fall In Love dari the Kung Fu Monkeys.
Tapi yang pasti, tunggu rilisan terbaru dari Mutant Pop yang bakalan mulai muncul dari bulan Juli tahun ini. Semoga saya bakalan punya distributor buat di Indonesia. Ini bukan kode, Prabu!
Terima kasih atas wawancaranya, tetap junjung tinggi etos DIY dan lakukan apa pun yang menyenangkan bagimu!