Popularitas adalah suatu anomali dalam kancah hardcore punk. Dari era predesornya di tahun 80-an silam, banyak band yang menyuarakan opini bahwa mereka tidak mau menjadi populer berkat bermain musik hardcore punk. Saya jadi teringat opini menggebu-gebu yang dilontarkan dari Vic Bondi di film dokumenter American Hardcore (2006). Vokalis band hardcore punk veteran Articles Of Faith tersebut mengutarakan perspektif kerasnya tentang musik yang dia mainkan tidak ada kaitannya dengan menjadi populer atau mencari perhatian para pendengar musik. Dia menekankan bahwa hardcore punk hanya sebatas media ekspresi belaka.
Tapi jujur, saya tidak sepakat dengan pendapat beliau. Karena pada akhirnya ketika sebuah band dengan karya musiknya yang memikat akan tetap mendapatkan perhatian publik dan mengemban status populer. Mau tidak mau hal itu memang terjadi di ranah hardcore punk. Ambil contoh seperti Black Flag, Youth Of Today, atau bahkan H2O. Ayolah mereka semua populer! Di setiap era perkembangbiakan hardcore punk selalu ada unit yang menjadi populer dan dikenal oleh para generasi selanjutnya.
Ah, berbicara soal popularitas di hardcore punk, saya jadi teringat akan fenomena bagaimana band hardcore modern, Turnstile pun berhasil menggapai popularitas di tingkat yang lebih fantastis dibandingkan band-band hardcore pendahulunya. Fantastis? Betul, saya rasa pilihan diksi tersebut tidak muluk untuk menilai posisi yang kini mereka singgahi di klasemen hardcore punk. Tenang, silahkan lanjut membaca untuk menelan beberapa opini saya tentang band asal Baltimore, AS tersebut.
Turnstile berhasil mendobrak stereotip musik hardcore
Sebagai band di bawah payung hardcore punk, nyatanya Turnstile berhasil menunjukkan citranya sebagai band yang multi-referensi. Ambil contoh di dua album terakhir mereka, Time & Space (2018) dan Glow On (2021). Dengan seenaknya mereka bereksplorasi liar di luar teritorial agresi hardcore punk. Mereka menggabungkan elemen ambient music, pop, bahkan hip-hop di beberapa lagunya. Mungkin untuk para puritan hardcore punk pendekatan musik yang mereka ambil terkesan merusak tatanan persona hardcore punk yang super konsisten dan ultra-ekslusif. Tapi mayoritas pendengar di lingkup generasi umur aktif hari ini malah menyukainya. Ah, bahkan saya yakin pasti ada banyak abang-abangan hardcore di luar sana yang mengapresiasi langkah eksplorasi musik yang Turnstile emban di lagu-lagunya. Singkatnya, Turnstile berhasil menyajikan hardcore punk dengan racikan yang lebih dinamis sekaligus elegan. That’s actually cool.
Faktor yang paling masuk akal mengapa pendekatan musik hardcore ala Turnstile berhasil yakni turut berkembangnya selera para pendengar musik hari ini. Sudah lumrah bahwa banyak pendengar musik aktif hari ini lebih tolerir terhadap berbagai jenis eksperimentasi di ranah musik. Hal tersebut bisa jadi terpengaruhi dari pola konsumsi mereka akan musik yang lebih terbuka berkat adanya fasilitas semacam layanan pemutar musik digital berbasis algoritma internet. Apa bila sudut pandangnya digeser sedikit ke sang musisi, Turnstile pun berasal dari generasi yang sama-sama menjunjung tinggi diversitas dalam ranah musik. It’s just my two cents about it.
Turnstile pun berhasil menjadi relevan lewat citra fashion mereka
Opini yang satu ini pun sebetulnya menggelikan bagi saya sendiri. Tapi harus diakui bahwa fashion memainkan peranan krusial dalam penyebaran musik di era ini. Tak terkecuali Turnstile yang menggaet banyak perhatian penggemar hardcore berkat gaya berpakaiannya yang terbilang ‘hype’ lewat media promosi visual mereka. Mungkin selera fashion hype ala Turnstile tidak masuk akal bagi para puritan hardcore yang masih menjunjung tinggi pentingnya celana army yang dipadukan dengan sepatu Air Jordan atau New Balance sebagai representasi manifesto masa muda di dalam musik hardcore punk.
Tapi berkat pilihan fashion yang lebih relevan di masa ini, Turnstile menjadi role model bagi para generasi sekarang yang tetap ingin terlihat fashionable dan menggila di atas panggung sembari memainkan musik hardcore. Kalau mau dianalogikan, sebetulnya fenomena fashion ala Turnstile ini tidak ada bedanya dengan kemunculan fashion Youth Crew di tahun 1988 silam. Ketika para pendahulu Ray Cappo dan gengnya menganggap Youth Crew terlalu ‘necis’ di era tersebut, pilihan berpakaian ala segerombol anak muda straight edge itu malahan mewakili golongan hardcore kids yang memang suka dengan pakaian bernuansa atletis dan lebih kasual. Lihat? Fenomena yang sama di lini waktu yang berbeda. Mau tidak mau cara berpakaian sebuah band memang berpengaruh untuk relevansi mereka dengan para pendengarnya.
Turnstile memang memiliki karya yang berkualitas
Oke mari kesampingkan dua poin opini saya di atas. Pada akhirnya, kualitas musiklah yang memang menjadi daya pikat Turnstile dan membuat mereka populer sekarang. Turnstile memahami esensi musik hardcore punk yang harus groovy serta agresif. Tapi mereka pun mengerti bahwa bereksplorasi dengan takaran yang pas pada karyanya bukanlah hal yang buruk. Riff pembuka “Real Thing” dan “T.L.C” membuktikan bahwa Turnstile memang bisa menggarap sebuah karya musik hardcore yang nikmat dan juga masih mampu menjunjung tinggi kaidah-kaidah parameter struktur hardcore yang tidak asal-asalan. Ah, bahkan dua poin awal saya menjadi tidak masuk akal ketika poin ini saya kemukakan. Turnstile berhak menjadi populer dan tidak ada yang bisa menyangkalnya dengan alasan “mereka cuma menang di gaya” atau “aji mumpung masuk Roadrunner Records”. Turnstile adalah band hardcore relevan di masa ini berkat menjadi jujur pada karya dan citranya. Period.
Ah, tentunya sebelum kamu mulai kesal lagi dengan opini saya, saya ingatkan kembali bahwa ini hanya opini dari perspektif dan pemahaman saya berdasarkan pengalaman dimensi musik saya. Suit yourself.