Ya ya ya, saya sudah bisa menebak lagu pertama yang muncul di kepalamu ketika nama The Blue Hearts disebutkan pastinya “Linda Linda”. Lagu itu memang ikonik dan fenomenal secara historis untuk para rakyat Nippon di sana. Saking fenomenalnya, lagu tersebut dikabarkan menjadi salah satu lagu favorit orang-orang Jepang untuk didendangkan saat berkaraoke bersama teman-teman.
Belum lagi lagu tersebut dijadikan premis utama untuk sebuah film bergenre spice of life garapan sutradara Nobuhiro Yamashita yang berjudul Linda Linda Linda (2005). Film tersebut sukses di pasar Jepang dan internasional karena ceritanya yang menarik dan soundtrack film-nya yang berhasil meng-cover lagu super politikal dari Blue Hearts dengan lebih manis dan kawaii. Plus jangan lupakan fakta bahwa “Linda Linda” pernah di-cover sama beberapa band internasional populer macam MxPx, Me First and The Gimme Gimmes dan Andrew WK. Walhasil, di kalangan populis Blue Hearts hanya dikenal berkat satu lagu tersebut saja.
Meski semua fakta itu memang faktor utama kenapa Blue Hearts bisa dikenal di luar Jepang, mereka bukanlah sekedar band one-hit wonder. Blue Hearts punya kontribusi lebih signifikan untuk dinamika perkembangan musik di Jepang sana, terutama di ranah punk rock/pop-punk. Tapi tunggu, sebelum membahas lebih dalam, saya akan berikan sedikit info biografi soal band proto-pop punk Jepang influensial ini.
Awal terbentuk dan kiprah di jalur indie
The Blue Hearts dibentuk oleh dua sahabat karib asal Shibuya, Hiroto Kimoto (vokal) dan Masatoshi Mashima (gitar) pada tahun 1985. Sebelum memulai band yang dinobatkan sebagai salah satu band rock Jepang yang paling influensial di ranah budaya pop oleh Rolling Stone Jepang tersebut, mereka berdua sebetulnya sudah tergabung dalam sebuah band yang bernama Traditional sejak awal tahun 80-an. Di band tersebut tergabung juga Junnosuke Kawaguchi (bass) yang akhirnya kelak didompleng oleh Hiroto untuk masuk ke The Blue Hearts. Sementara Tetsuya Kajiwara (drummer) masuk paling belakangan ke unit punk rock yang berdomisili di Shibuya tersebut karena menggantikan Ei Ryusuke (drummer orisinal) yang hengkang di tahun 1986.
Dari tahun 1985 sampai 1987, The Blue Hearts terbilang cukup aktif ketika memulai kiprahnya sebagai band indie. Mereka sering tampil di berbagai live house di sekitaran Shimokitazawa dan Shibuya. Di era yang sama, Blue Hearts sempat merilis dua single yang membuat reputasi mereka semakin meningkat di scene musik independen Tokyo. Single tersebut adalah “1985” dan “Hito Ni Yasashiku”. Kedua single tersebut dirilis dalam bentuk flexi disc dan hanya dicetak sejumlah 200 kopi untuk setiap masing-masing rilisanya.
Kesuksesan di jalur mainstream dan akhir karir
Kesuksesan penjualan single “Hito Ni Yasashiku” di ranah indie ternyata membuat pamor Blue Hearts terendus oleh beberapa eksekutif mayor label di Jepang tertarik untuk mengontrak mereka masuk ke industri musik arus utama. Sampai akhirnya di tahun 1987, The Blue Hearts memilih Meldac (grup korporat asal Tokyo yang mempunyai salah satu unit usahanya adalah label rekaman) sebagai label yang mereka rasa cocok untuk dijadikan tempat mereka bernaung dan mendistribusikan karyanya.
Di tahun yang sama, Blue Hearts merilis dua album sekaligus pada waktu yang cukup berdekatan. Album perdana mereka yang bertajuk The Blue Hearts dirilis di bulan Mei, sementara album sophomore mereka, Young And Pretty dirilis di bulan November. Kedua album sukses keras di pasaran lantaran formula musik punk rock yang Blue Hearts gunakan ternyata dengan mudah dicerna oleh para pendengar musik arus utama di Jepang waktu itu. Tapi puncak ledakan demam Blue Hearts di industri musik makin menjadi-jadi berkat rilisnya album ketiga mereka di tahun 1988, Train Train. Album tersebutlah yang sebetulnya membuat status Blue Hearts sebagai band rock berskala nasional semakin tak terbantahkan.
Tak ingin berhenti hanya untuk sukses di Jepang, Blue Hearts sempat bertandang tur ke Amerika di tahun 1991 sesaat setelah mereka merilis album Bust Waste Hip. Tur tersebut terbilang tidak sukses karena tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi reputasi Blue Hearts di luar negeri di masa itu. Namun di Jepang, nama mereka tetaplah masih berada di puncak klasemen band rock papan atas di industri musik nasional.
Blue Hearts memutuskan untuk bubar di tahun 1995 yang dilatari oleh beberapa permasalah internal di dalam band-nya. Tapi publik di Jepang lebih banyak mengetahui bahwa penyebab utama bubarnya Blue Hearts adalah kebosanan para personilnya dengan musik yang selama ini dimainkan dan masuknya Kawaguchi ke sebuah sekte kepercayaan “sesat” di Jepang yang bernama Happy Science. Setelah bubarnya Blue Hearts, Hiroto dan Masatoshi membentuk band baru yang bernama The Cro-Magnons. Meski status Cro-Magnons hari ini sahih disebut sebagai band rock legendaris juga, orang-orang tetap tidak bisa berpaling dari semua karya dan kiprah yang Blue Hearts telah wariskan ke generasi selanjutnya.
Nuansa musik dan pengaruh terhadap musik punk rock/pop punk Jepang
Lagu-lagu Blue Hearts terkenal akan sensibilitas harmoni dan pilihan akornya yang sangat nyaman di berbagai kuping para pendengar musik. Meski kalau dipukul rata sebetulnya rata-rata lagu Blue Hearts bernuansa punk rock 70-an ala Ramones dann The Clash. Mereka pun sebetulnya tidak melulu tenggelam di kotak genre musik yang sama. Beberapa lagu milik mereka malah mempunyai nuansa yang lumayan terdengar jauh dari birama punk rock, seperti balada, ska, dan bahkan eksperimental. Contohnya bisa didengarkan di lagu-lagu seperti “Restaurant”, “Party”, atau “Aozora”.
Di era ketika mulai terkenal lewat dua album pertamanya, Blue Hearts semacam mengenalkan musik poppy punk rock lebih efektif kepada khalayak ramai di Jepang. Bukan berarti Jepang tertinggal jauh perihal tren musik alternatif di era tersebut, tapi harus diakui tren musik populer di era itu masih didominasi oleh musik-musik pop, idol group gelombang pertama, dan genre yang lebih klasikal seperti enka. Dan ketika Blue Hearts muncul dengan musik poppy punk rock dan aksi panggung yang dianggap tabu bagi para pendengar musik normies di era tersebut, hal itu menjadi sesuatu yang baru dan segar bagi publik di Jepang kala itu.
Banyak band-band Jepang dari berbagai genre yang menganggap Blue Hearts sebagai panutan atau portal pertama mereka untuk mengenal punk rock lebih jauh. Seperti pengakuan vokalis Four Get Me A Nots, Yasunori Ishitsubo pada sebuah wawancara yang menyatakan bahwa pertama kali dia terpapar oleh musik punk rock adalah lewat lagu “Linda Linda” yang ia dengarkan di radio. Sama halnya seperti Hidaka Toru dari The Starbems dan Beat Crusaders. Dia malah sempat menginisiasi sebuah EP tribute untuk Blue Hearts di tahun 2002 untuk menunjukan penghormatannya terhadap band yang punya hits berjudul “Train Train” tersebut.
Meski The Blue Hearts sudah tidak ada, rasanya tanpa kehadiran mereka, kancah musik punk rock/pop-punk di Jepang tidak akan pernah seperti yang kita kenal sekarang. The Blue Hearts adalah salah satu band yang berhasil membuktikan kepada publik dan dunia bahwa tidak ada batasan genre yang harus mengikat terhadap sebuah band, terutama yang berada di jalur yang terbilang cutting-edge. Tidak ada yang salah sepertinya untuk menganggap Blue Hearts sebagai band yang membawa elemen “pop” ke dalam “pop punk” di Jepang untuk pertama kalinya.