Mungkin perkenalan saya terhadap Jawbraker sendiri dapat ditarik garis merahnya ketika saya pertama kali mendengarkan Jets To Brazil pertama kali via Atticus Dragging The Lake dan diakui sound band ini sebenarnya kurang masuk sih waktu kali pertama saya mendengarkan. Wajar sih karena memang di kala itu mungkin kuping saya juga masih ‘kedoktrin’ banget sama sound band melodic hardcore seperti New Found Glory dan Rufio. Nah kedua kali saya mendengarkan Jawbreaker adalah ketika mendengarkan The Ataris yang via B-Side materi mereka sempat meng-cover lagu ‘Boxcar’ dan setelah itu sayapun pertama mendengarkan 24 Hour Revenge Therapy yang memang setelahnya menjadi afirmasi bagi selera saya untuk menerima musik Jawbreaker di dalam playlist saya.
Jawbreaker bisa dibilang merupakan band yang sepanjang lifespan-nya tidak dapat mengenyam kesuksesan besar walaupun bisa dibilang setelah band ini bubar, legacy yang ditinggalkan cukup besar impactnya terhadap sound emo di tahun 2000 sampai 2010. Jawbreaker sendiri awalnya merupakan band asal New York yang dibentuk oleh Blake Schwarzenbach dan Adam Phafler, yang dimana 2 personil tersebut termasuk Chris Bauermister menjadi trio member dari Jawbreaker sampai band ini bubar lalu reunian lagi.
Yah intinya mah sebenernya emang bertigaan doang sih Jawbreaker mah haha! Tapi kalau menilik sejarah lifespan Jawbreaker sendiri memang band ini cukup underated di masa hidupnya. Mengingat subkultur dan musik emo di tahun 90-an tuh emang belum sebesar emo di tahun 2000 dan 2010. Dan semuanya tahu memang Grunge dan alternative lagi hype banget di tahun 90-an mah dan Jawbreaker memang menjadi representasi dari scene emo itu sendiri di tahun 90-an mengingat ‘Dear You’ yang memang dirilis oleh Geffen Records di tahun 1995. Sebenarnya untuk merilis album di tahun tersebut mengandung kontroversi sendiri sih dan gak usah dari skena emo bahkan Ben Weasel pun sempat mengkritik Jawbreaker ketika mereka deal dengan Geffen di sekitar tahun tersebut. Kalo gak salah inget sih emang sempet dibuat writing di Maximum Rock N Roll juga sama Ben soal Jawbreaker sign up sama Geffen.
Sign dengan major label tentunya dengan pengharapan dari band sendiri akan signal positif dari karir band yang lebih cemerlang. Tapi tunggu dulu, terkadang hidup itu pahit sih ya bukannya bandnya tambah gede malah post ‘Dear You’ sendiri perseturuan Blake dan Chris Bauermister makin terlihat di atas panggung (Yes Blake spitted on Chris’ face as being seen on band’s movie doc).
Dari sisi musikalitas sendiri memang Jawbreaker memiliki kualitasnya sendiri. Untuk standard post hardcore di jaman tersebut agaknya cukup mediocre bagi sebuah band emocore yang memiliki formulasi ‘quiet-loud’ di dalam struktur musiknya, nah formulasi musik Jawbreaker sendiri sebenarnya agak keluar dari pakem tersebut. Lets say hearing Jawbreaker is like hearing any punk band with a more poetical lyrics. Ditambah formulasi bassline Chris yang cukup memberikan warna di dalam musik Jawbreaker itu sendiri. Untuk cult favorite, saya bisa katakan bahwa banyak dari eksponen scene melodic hardcore/melodic punk Jepang di tahun 90-an kurang lebih mengkultuskan Jawbreaker sebagai role model sound mereka. Mungkin salah satu contoh band yang saya ambil adalah Ciggaretteman dan memang Jawbreaker sendiri besar namanya ketika band ini sudah bubar. Let say band seperti Alkaline Trio, Blink-182, sampai Jimmy Eat World citing Jawbreaker sebagai ‘alasan’ mengapa band tersebut eksis sampai hari ini.
Secara diskografi sendiri, saya menempatkan ’24 Hour Revenge Therapy’ di dalam list pertama album terbaik dari Jawbreaker. Bisa dibilang mungkin album ini sebuah titik balik dari band setelah memproduksi ‘Bivouac’ yang cukup mengecewakan banyak pendengar karena over produce dan kelewat experimental. LP ’24 Hour Revenge Therapy’ sendiri direkam di rumahnya Steve Albini (Big Black, Shellac) yang emang produser tangan dingin juga untuk nanganin band underground di masanya. Dan bisa dibilang via ’24 Hour Revenge Therapy’ pun Jawbreaker akhirnya bisa dilirik oleh Geffen sampai sign dengan label tersebut. Okey next untuk list kedua dan terakhir saya akan manaruh ‘Dear You’ sebagai album favorit dari Jawbreaker. Album ini lucu sih sebenarnya secara nilai historisnya. Jadi album yang diproduseri oleh Rob Cavallo ini, yang dimana dia juga telah sukses sebelumnya memproduseri ‘Dookie’-nya Green Day, sebenarnya mengundang banyak kritik karena sound nya yang terlalu ‘megah’ untuk Jawbreaker itu sendiri namun pada akhirnya ‘Dear You’ pun menjadi salah satu cult favorite setelah band ini bubar. Secara materi sebenarnya ‘Dear You’ tereksekusi dengan baik namun memang di ranah songwriting ’24 Hour Revenge Therapy’ sih yang emang masih megang banget untuk output terbaik dari Jawbreaker menurut gue pribadi.
Kabar terakhir setelah merilis film dokementer dikabarkan bahwa Jawbreaker memang sedang reunian dan mengadakan banyak gig di banyak kota dan kabar terbarunya lagi bahwa band ini juga sedang meramu materi baru untuk musiknya. Ya gue sendiri gak ngoyo sih ekspektasinya untuk band reunian sebenernya mah, kalo karyanya bagus ya sukur kalo enggak yah emang udah bukan ‘wayah’-nya kali ya. Yang menarik sih ketika band ini tampil di Gilman St di tahun 2019 silam yang dimana gue liat ada Sarchasm yang jadi pembuka, which can be concluded bahwa band senior ini emang ngasih space untuk band baru untuk tampil bersama mereka. Positive attitude banget sih itu menurut gue 🙂 Anyway thats the whole of things about Jawbreaker sih, maaf kalau tulisannya kepanjangan haha.