Keterbatasan dalam mengakses minuman ber-alkohol serta kenaikan harga membuat para penikmatnya memutar otak untuk mencari alternatif yang lebih terjangkau. Tidak mau terjebak dalam memilih minuman keras oplosan munculah minuman pengganti yang relatif lebih aman dikonsumsi, fermentasi buah.
Jogjakarta sebagai kota pelajar dimana banyak terdapat pelajar dan mahasiwa lengkap dengan dinamika hiburan tentu-nya tidak ketinggalan dalam hal fermentasi buah. Tercatat beberapa nama merk fermentasi buah semacam Pondoh dan Obat Sablon sempat berseliweran menjajakan dagangan via sosial media dan jejaring bawah tanah anak muda.
Di arena gigs bawah tanah pun fermentasi buah menjadi pilihan yang tepat ketika ingin menikmati sajian penghangat tubuh untuk mengiringi gerak lagu band yang sedang on stage. Beberapa penikmat dan pelaku skena musik pun ikut memproduksi serta mengedarkan hasil fermentasi buah mereka di gigs seperti jenama Blexx Brew, Jeruk Liar, De Lotse dan Bungah Bahagia.
Tak jarang mereka juga menjadi sponsor untuk gig mandiri besutan kolektif muda mudi kota ini maupun band Jogja yang sedang melakukan tour. Band saya, To Die, pun pernah disupport oleh Crimson ketika tour EP 2022 lalu.
Fermentasi Buah Ala Lifepatch
Bertemulah saya dengan Lifepatch, sebuah organisasi lintas-disiplin berbasis komunitas yang salah satu kegiatannya adalah menyelenggarakan workshop fermentasi buah bersama warga masyarakat.
Komunitas yang terbentuk pada 26 Maret 2012 ini mengajak siapapun yang terlibat dalam aktivitasnya untuk meneliti, menggali, dan mengembangkan kehadiran teknologi, sumber daya alam, dan sumber daya manusia di daerah sekitarnya.
Firmanto Budiharto dan Agus Tri Budiarto adalah salah dua pendiri Lifepatch yang banyak bergerak di aktifitas workshop membuat fermentasi buah. Firmanto Budiharto yang biasa dipanggil Geger mengaku awalnya suka membuat fermentasi buah karena karena senang bikin eksperimen juga minum miras.
“Dulu awalnya bikin fermentasi karena di rumah ada pohon belimbing yang berbuah sampai 4 kali setahun. Tahun 2009 mulai nyoba bikin fermentasi karena memanfaatkan belimbingnya yang berjatuhan. Dulu belajar cara bikin fementasi dari baca buku, via internet terus coba coba sendiri untuk diminum sendiri, kemudian ketemu sama teman teman yang kemudian bersama sama mendirikan Lifepatch” ungkap Geger tentang awal mula ketertarikannya dengan fermentasi buah.
“Sekitar tahun 2009 apa 2010 kalo ga salah, saya bertemu dengan teman – teman HONF (House Of Natural Fiber) yang waktu itu bermarkas di Baciro yang juga membuat fermentasi buah. Kemudian saya membandingkan proses yang mereka pakai, apa sudah benar cara-nya? karena sebelumnya saya gak tau bikin fermentasi yang sebenarnya itu bagaimana tapi ternyata gak jauh beda caranya” kenang Geger mengenai awal pertemuannya dengan orang – orang yang kemudian mendirikan Lifepatch bersamanya.
Workshop Fermentasi Buah
Semenjak Lifepatch berdiri kemudian mereka membuat workshop fermentasi buah karena permintaan untuk membuat workshop dari beberapa komunitas lain misalnya Survive, Pondok Kelir juga dari kampus Sanata Dharma.
“Workshop nya tidak berbayar karena mereka bawa sendiri bahan-bahannya, misalnya buah apa yang lagi panen atau ga harus beli, terus urunan beli gula, siapa yang bawa galon galon,karena mereka bikin workshop semurah mungkin dengan bahan yang dipunyai” jelasnya mengenai konsep workshop yang diberikan Lifepatch.
Kemudian Lifepatch memulai workshop di acara – acara tertentu yang diselenggarakan di kampung misalnya di kampung Juminahan, Gumuk, pasar sasen (bulanan), juga pasar komunitas dimana Lifepatch diundang untuk bikin workshop fermentasi buah.
Proses workshop fermentasi buah di kampung ini termasuk unik. “Pemuda kampung ini banyak yang minta dibikinin workshop fermentasi buah. Awalnya karena mereka banyak minum miras oplosan, asal – asal an, kemudian muncul kesadaran untuk meminum miras yang lebih aman, yang mereka ketahui bahan dan cara pembuatannya. Kalau bisa bikin sendiri kenapa ga bikin sendiri? Artinya itu ada sebuah kesadaran baru yang bagus, artinya juga ada bentuk bentuk motivasi do it yourself, do it with other” papar Geger yang juga inisiator dari Urbancult ini.
Selama workshop di kampung belum pernah ada komplain dari tetua kampung karena setiap mau melakukan workshop mereka selalu melihat latar belakang sosial kampungnya. Sebelumnya juga ada diskusi mengenai alasan kenapa mereka ingin diajari workshop fermentasi buah tersebut, bahwa ini nanti akan membuat alkohol, bahan nya apa saja, mau dipake untuk apa.
“Pernah sekali workshop yang ngundang dinas pariwisata Kulon Progo di desa Boro, yang ikut ada 13 Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mayoritas ibu muslim pakai jilbab dan hanya ada 2 orang bapak-bapak saja. Awalnya kami sempat khawatir, jangan – jangan ibu – ibu ini ikut karena dikiranya mau workshop bikin sirup buah atau selai. Terus kami diskusi dulu ke mereka:
“Ibu – ibu, hari ini kita mau bikin apa sudah tahu kan?”
“Tahu mas, bikin anggur kan”
“Karena kita mau bikin minuman beralkohol untuk memanfaatkan buah buahan yang biasanya terbengkalai di desa desa.”
“Iya ga masalah, nanti kan ini mau dijual untuk konsumsi turis – turis wisatawan-nya”
Terus bapak – bapak nya juga jawab “dan untuk bapak -bapak”. Ayem kami denger jawaban ini” cerita Geger tentang pengalaman menarik selama bikin workshop di pedesaan.
Workshop Lifepatch memang fokus dalam penggunaan buah – buahan tropis sebagai bahan utama pembuatan fermentasi ini. Selama ini jenis buah tropis yang dibikin workshop juga tergantung dengan musim buah yang sedang ada.
“Kalo pas musim nangka ya bawa nangka, lagi banyak salak ya bawa salak. Saya merasa lebih senang ketika bikin fermentasi dengan memakai bahan rempah – rempah misalnya empon – empon jahe, cocok dengan lidah saya. Kalo untuk buah buahan itu lebih ke tingkat alkohol yang dihasilkannya, misalnya buah nangka dan belimbing itu alkoholnya tinggi” ungkapnya mengenai jenis buah yang dipakai fermentasi.
Pada proses fermentasi buah, sebenarnya yang paling mudah itu bukan tergantung buah yang dipakai tapi terletak pada prosesnya. “Misalnya buah belimbing dengan kadar air yang tinggi jadi ketika diblender atau di juicer gitu ada airnya meskipun tidak banyak. Dibandingkan dengan salak yang diblender atau di juicer ga ada airnya. Jadi metode memperoleh jus untuk salak itu harus direbus, hasilnya baru diperas untuk diambil sari-nya. Belimbing kalo di juicer bisa keluar air-nya tapi ga banyak jadi untuk mendapatkan sari yang lebih banyak dengan menambahkan air. Beda dengan air siwalan yang lebih mudah, tinggal ditambahin madu atau rempah rempah” beber Geger.
Sementara untuk proses yang paling lama dan susah itu buah rambutan, “itu satu karung kudu di bukain kulitnya satu satu, lebih ke proses itu sih yang susah. Salak juga susah tuh” imbuhnya.
Agus Tri Budiarto alias Timbil dan Geger juga tidak segan berbagi proses fermentasi buah yang paling mudah diikuti. “Salah satu proses fermentasi paling simpel misalnya belimbing. Bagi yang ga punya blender atau juicer bisa dirajang rajang, di uleni/dicacah, terus direbus sampe mendidih, tunggu dingin terus diperas dan disaring kemudian sarinya dipakai sebagai bahan fermentasi, dengan penambahan gula pasir untuk mendapatkan alkohol yang lebih tinggi lalu ditambah ragi nya” jelas keduanya mengenai proses fermentasi buah.
“Karena proses fermentasi kan sebenarnya itu tadi, bakteri yang biasa kita pakai, saccharomyces cerevisiae, memakan baik itu fruktosa maupun glukosa yang kemudian diubah menjadi alkohol dan menghasilkan gelembung udara. Itulah nanti yang dimasukan ke kontainer, yang sederhana memakai selang yang ditutup rapat di ujung galon nya, ujung selang lainnya masuk ke botol yang ada airnya supaya udara tidak masuk, disebut proses Anaerob. Nanti proses itu tergantung kadar gula nya bisa sebulan atau lebih, ketika udah selesai ditunggu endapannya turun ke bawah lalu diambil air yang bening di atas kemudian dipindah ke botol gelas untuk disimpan dan dikonsumsi” imbuh keduanya .
Penelitian Tentang Penggunaan Yeast Dalam Proses Fermentasi
Timbil bersama Julian Abraham dan Nur Akbar Arofatullah pernah melakukan proyek kolaborasi seni dan sains mengenai penggunaan mikroorganisme (Yeast) dalam proses fermentasi ethanol bersama Jurusan Mikrobiologi Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM).
Penelitian yang dinamai Intelligent Bacteria – Saccharomyces cerevisiae (IB:SC) memanfaatkan beberapa buah mulai dari nanas, sirsak, melon, apel sampai sorgum sebagai bahan baku. Dari ke sekian banyak jenis buah tersebut diperoleh 55 jenis ragi dimana sirsak dan pepaya menghasilkan saccharomyces terbaik dimana ragi dari keduanya bisa menghasilkan minuman fermentasi dengan kadar alkohol 12 %.
Di masyarakat awam sering timbul kesalahpahaman yang sering didengar tentang fermentasi buah, tentang hal ini Timbil menjelaskan “sebenarnya banyak keracunan miras itu karena oplosan (asal beli alkohol kemudian dioplos dengan bermacam rasa atau sari) yang gak tahu jenis alkohol yang dipakai.”
Ethanol VS Methanol
Jenis alkohol itu banyak sekali tapi yang bisa dikonsumsi manusia itu Ethanol. Nah, jenis lain seperti methanol, butanol dll itu adalah racun. Yang hampir sama prosesnya dengan ethanol itu methanol, sama sama dijual juga di pasaran. “Keracunan alkohol itu rata rata karena methanol”ungkap Timbil.
Ethanol dan methanol dijual di pasaran, kalo mau beli yang mahal bisa di toko bahan makanan. “Jadi beberapa orang ngoplos tapi gak tau bahannya. Nah kita gak tau alkoholnya beli dimana, jenisnya apa, apakah itu ethanol, apakah methanol, apakah ethanol tapi kecampuran methanol. Karena takaran dosis lethal dari methanol itu kasarannya kalo 1 liter itu cuma butuh 5 mili, itu orang yang minum udah bisa mati keracunan” jelas Timbil.
Sambil bercanda Geger menambahkan “Beda keduanya itu kalo Methanol bikin mati pake awalan M, kalo Ethanol bikin enak pake awalan E hehehe. Spritus itu termasuk methanol, dikasih warna biru untuk membedakannya dengan ethanol”
Timbil yang lulusan bidang Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional ini kembali menjelaskan tentang beda Ethanol dan Methanol “secara fisik keduanya susah dibedain, dilihat dan dibauin ga bisa dibedakan, keduanya juga dijual secara bebas. Bedanya kalo kita bikin fermentasi buah sendiri, kalo dibuat secara prosedural ya tidak ada methanol nya karena ragi yang dipakai itu cuma bisa menghasilkan ethanol”.
Filosofi Fermentasi Buah
Ketika ditanya mengenai filosofi dalam membuat fermentasi Timbil menjawab “awalnya lebih karena ingin bikin sendiri karena khawatir kalo botolan itu mahal, kalo beli diluar takut keracunan”.
Sementara Geger “kalo awalnya, mungkin ga bisa disebut sebagai filosofi, ketika saya bisa mencoba membuat sendiri, berhasil dan rasanya enak itu bikin aku seneng.” Geger kemudian bercerita ke temen lalu ada temen lain yang minta diajari bikin workshop, kemudian menyuguhkan hasil fermentasi ke temen – temen yang dikomentari enak itu jadi nilai plus buat dirinya.
Sekarang Geger menemukan filosofi bahwa “bikin fermentasi itu seperti sebuah proses seperti macro cosmos dan micro cosmos karena dalam kontak ini sebagai bagian dari alam raya”. Geger mencoba terlibat disitu dalam hal menyiapkan buah buah an yang baik, memilih lalu memproses materinya menjadi bahan fermentasi, menyiapkan peralatan yang dibutuhkan.
Tapi akhirnya proses itu juga tergantung pada cuaca (panas atau dingin), ternyata di dalam-nya ada bakteri yang lain. Artinya keberlangsungan fermentasi ini, jadi atau tidak, enak atau tidak, itu tergantung pada proses macro cosmos nya, bahwa kita tidak bisa terlibat secara penuh disitu, artinya kita sudah berusaha mengontrol sepenuhnya tapi tetap ada proses alam yang bisa mempengaruhi hasilnya.
Keduanya sepakat memberikan rekomendasi untuk rajin menonton tutorial di YouTube atau internet kepada pemula yang ingin belajar tentang proses fermentasi buah. Timbil menambahkan “buku di luar juga banyak kok tentang fermentasi kan proses ini sudah ada dari dulu, ribuan tahun sebelum Masehi.”.
Geger sendiri mengakui kalau buku di Indonesia itu lebih banyak membahas tentang wine anggur, “kalau dulu yang aku baca itu buku proses pembuatan fermentasi jambu mete. Lebih spesifik hasil penelitian seseorang yang dibikin buku”.
Good GoFerment
Lifepatch juga menginisiasi dua kali acara Good GoFerment, yang bertujuan untuk mengantisipasi pemaknaan yang salah tentang proses fermentasi karena selama ini fermentasi dianggap hanya berhubungan dengan minuman alkohol saja. Padahal fermentasi itu cara atau metode untuk mengawetkan bahan makanan, bentuk fermentasi yang lain juga ada misalnya tempe, kecap, kombucha, yoghurt dan kefir.
Kamu bisa mengetahui program penelitian dan workshop lainnya dari Lifepatch dengan menuju ke laman website mereka di lifepatch.org