Chapter III : Lemuria Explosions
Walaupun secara data, Lemuria bukanlah band yang sebenarnya memproduksi album Indie Punk pertama namun benar-benar tidak bisa dipungkiri band asal Buffalo ini memang memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan genre musik Indie Punk.
Album “Get Better” memang sebuah album yang selain menjadi quantum leap dari band ini, juga disadari ataupun tidak album merupakan cetak biru bagi banyak band Indie Punk yang terbentuk setelahnya.
Kami nilai, walaupun “Worstward, Ho!” dari Shinobu ataupun “Get Warmer” dari Bomb The Music Industry! dirilis beberapa tahun sebelum “Get Better” dari Lemuria yang dirilis pada tahun 2008 namun album ini memiliki komposisi yang baik namun simple dan mudah diterima oleh banyak penggemar dan pemerhati skena.
Album “Worstward, Ho!” memang sebuah album yang breakthrough di dalam skena. Pada album ini juga telah tercetak sensibilitas Power Pop yang nantinya akan diteruskan kepada West Coast Indie Punk Sound.
Namun nampaknya album ini belum diemulasi dengan secara komposisi musik. Dan hal ini yang nampaknya membuat “Westward, Ho!” menjadi cult thing di skena Indie Punk dibandingkan instant classic seperti album “Get Better” dari Lemuria.
Juga apabila dibandingkan dengan “Get Warmer” dari Bomb The Music Industry! sendiri, walaupun “Get Warmer” merupakan sebuah karya yang gaduh dan cukup membawa pembaharuan di skena orgcore.
Tetapi komposisi musik dari album “Get Warmer” sendiri masiht terlalu komplikatif dan memang hal itu yang menandakan dari songwriting dari Jeff Rosenstock itu sendiri.
Dan memang bakat plus kegilaan seperti Jeff Rosenstock belum tentu dimiliki oleh banyak orang di muka bumi ini dimana sebelum komposisi musik dibuat si Pak Jeff ini sudah bisa membayangkan tentang sound dan instrumen apa saja yang akan diinkorporasikan ke dalam lagu tersebut.
Tentunya “Get Better” apabila dibandingan dengan “Get Warmer” dari BTMI! merupakan album yang jauh lebih simpel secara instrumentasi dan juga komposisi musik.
And another good thing is selain “Get Better” memiliki instrumentasi musik yang simpel, album ini memiliki kualitas komposisi musik yang sangat baik.
Dan tidak heran mengapa sound dari “Get Better” sendiri lebih dipilih menjadi cetak biru bagi banyak band-band Indie Punk di era keemasan tahun 2010-an.
Hingga nampaknya pantas apabila kami menamakan fenomena kultur ini sebagai “Lemuria Explosion”.
Fenomena “Lemuria Explosion” ini cukup memiliki impact bagi band-band Indie Punk yang emerge di tahun 2010-an seperti Cayetana, Pup, Signals Midwest, All Dogs, Hop Along, dan lain sebagainya.
Selain memiliki impact di tanah Paman Sam, fenomena “Lemuria Explosion” menghasilkan diaspora tersendiri bagi genre musik Indie Punk.
Beberapa di antaranya adalah Emotive Indie Punk yang berkembang di skena emo, West Coast Indie Punk yang berkembang di pesisir barat pantai Amerika, UK-Sounded Indie Punk yang berkembang di skena regional Inggris, Nippon Indie Punk yang nantinya menjadi face dari skena Indie Punk di Asia, dan juga genre ini berkembang di skena lokal yang diwakili estetikanya oleh band-band seperti Much, Take, sampai Brunobauer.
Berikut kami perdalam sedikit mengenai diaspora yang dialami genre Indie Punk di tahun 2010-an.
Emotive Indie Punk
Dalam umur bersinarnya di dekade 2010-an, musik Indie Punk juga mengalami asimilasi genre dengan musik Emo.
Dan memang sebenarnya hal ini sudah bukan hal yang aneh juga karena sejatinya apa yang terjadi pada Emo Second Wave, khususnya pada subgenre Emocore merupakan sebuah improvisasi dari musik Indie Rock dengan vibe yang lebih emotive dan cenderung retrospektif.
Begitu juga hal ini terjadi pada skena Indie Punk yang dimana bisa kami kategorikan beberapa band dan musisi seperti Into It. Over It., Tigers Jaw, ataupun Modern Baseball, merupakan band yang memuat konten Indie Punk dalam musik Emo mereka namun band-band tersebut memang di-embrace di skena emo.
Secara jumlah dan diversitas sungenre-nya memang style musik Emotive Indie Punk ini merupakan subgenre yang rame dan perkembangannya pesat sampai saat ini.
Dan mungkin untuk sedikit mempersempit ruang lingkup yang ada di artikel ini, maka saya akan membatasi dari rentan waktu yang diambil merupakan rentan waktu dekade 2010-an.
Di beberapa band seperti Joyce Manor, Pet Symmetry, ataupun Warm Thoughts warna musik yang mereka presentasikan memiliki sedikit asimilasi dengan elemen Power Pop walaupun secara de facto band ini mendapatkan approval sebagai salah satu icon dari wave Revival Emo.
Dengan emerging-nya retrospektif sound emo dengan guitar math rock yang ditandai dengan hype up LP pertama American Football, maka band-band dengan sound twinkle pun menghiasi style dari genre ini seperti Algernon Cadwallader, Snowing, Glocca Morra, ataupun Marietta.
Dan sampai saat ini baik secara skena lokal ataupun global, style twinkle seperti ini cukup masif impact dan eksponen di dalam skena nya.
Lalu beberapa band seperti Empire! Empire! (I Was A Lonely State), Kittyhawk, Joie De Vivre mempresentasikan ulang elemen quiet-loud yang pernah dipelopori oleh band-band emo gelombang kedua.
Di lain sisi, eksperimentasi sound juga dilakukan oleh beberapa musisi seperti The World Is A Beautiful Place & I’m No Longer Afraid To Die, Crash of Rhinos, ataupun itoldyouiwouldeatyou yang mengasimilasikan tekstur sound Post Rock ke dalam komposisi musik Emotive Indie Punk mereka.
Tidak ketinggalan, beberapa eksponen Emotive Indie Punk juga bereksplorasi dengan produksi sound yang sonik. Beberapa band melakukan emulasi dengan Seattle Sound dan sound Alternative Rock 90-an seperti Citizen, Balance & Composure, ataupun Superheaven.
Bahkan band seperti Title Fight memperluas dan medefinisikan ulang sound Post Hardcore di dekade ini yang diasporanya memang masuk kepada style Emotive Indie Punk.
Juga tanpa melupakan beberapa emulative style seperti emogaze yang dipresentasikan oleh Pity Sex ataupun emulasi terhadap jaggling guitar pick ala Indie Pop yang dilakukan oleh Turnover.
Selain beberapa band yang berperan untuk establishing subgenre ini, terdapat beberapa label yang berperan sebagai “noise dealer” yang menaungi band-band yang membesarkan subgenre.
Salah satunya adalah Count Your Lucky Stars. Label yang dibentuk oleh 2 personil dari Empire! Empire! (I Was A Lonely State), yakni Keith Latinen bersama dengan spouse-nya Cathy Latinen walaupun akhir-akhir ini label ini dikelola secara keseluruhan oleh Keith.
Label asal Michigan ini dikenal sebagai salah satu label yang establishing pergerakan Emo Revival yang berkembang di tahun 2010-an. Beberapa band yang sign di label ini di antaranya Annabel, CSTVT, Moving Mountains, Into It. Over It., dan banyak lagi.
Selain Count Your Lucky Stars Records, kami nilai Run For Your Cover juga merupakan salah satu label yang memegang peranan penting dalam perkembangan musik Emotive Indie Punk.
Label asal Boston ini didirikan oleh Jeff Casazza pada tahun 2004 dengan memanfaatkan pinjaman sebesar $ 1.000 dan beroperasi menggunakan kamar kecil Jeff.
Hingga saat ini label masih menjadi salah satu label yang menjadi tolak ukur skena Emotive Indie Punk dan telah men-sign banyak musisi dan band seperti Title Fight, Tigers Jaw, Basement, Pity Sex, Turnover, Citizen, dan banyak band lainnya dari skena Emotive Indie Punk.
Dan via artikel ini kami konfirmasi bahwa Emo Revival yang emerging di tahun 2010-an merupakan bagian dari pergerakan dari Indie Punk.
West Coast Indie Punk
Di daratan Paman Sam, diaspora Indie Punk sendiri tentunya menciptakan waranya tersendiri. Sementara banyak band dari pantai timur Amerika Serikat merupakan worshipper dari sound-sound yang dipresentasikan oleh roster-roster Merge Records, band-band pantai barat sedikit mengasimilasikan Power Pop di dalam warna musik Indie Punk mereka.
Salah satu yang cukup iconic untuk menggambarkan corak musik West Coast Indie Punk adalah grup band Joyce Manor.
Dan kami konfirmasi bahwa keunikan dari sound musik Joyce Manor sendiri menjadi alasan mengapa band ini merupakan band kunci di 2 diaspora Indie Punk, satu West Coast Indie Punk dan Emotive Indie Punk.
Walaupun tidak semuanya band-band West Coast Indie Punk ini mengadopsi sound-sound emotive, as a matter of fact banyak band West Coast Sound seperti Warm Thoughts ataupun Winter Break juga di-embrace oleh skena Emo.
Tapi yang bikin distingtif yang pasti band-band kaya The Exquisites yang terdengar sungguh soulful, The Albert Square ataupun Shinobu yang memang mengurai spektrum Indie Punk mereka dengan sedikit sentuhan Power Pop.
Style musik dari West Coast Indie Punk sendiri sebenarnya juga disokong oleh skena dari VLHS yang memang sedang emerging di dekade 2010-an.
VLHS sendiri merupakan sebuah venue yang berada di Pomona, California. Berawal dari sebuah warehouse dari skateshop di Chino, California, yang kemudian usahanya di-take over oleh co-worker-nya, Tim Burkert dan Donna Ramone.
Warehouse ini selanjutnya dijadikan sebagai tempat nongkrong skate sekaligus rehersal dan gig kecil-kecilan. Dengan banyaknya laporan dari warga sekitar yang terganggu, maka venue warehouse 12th & G pun direlokasi ke Pomona, California.
Dengan menggunakan nama baru yakni Vince Lombardi High School (VLHS), venue ini pun beroperasi circa 2011 di sebuah lokasi di antara warehouse sehingga kegiatan berkesenianpun aman diadakan di sana.
Dan VLHS pun menjadi ‘tempat tumbuh kembang’ bagi beberapa band West Coast yang dimana terdapat Joyce Manor di dalamnya. Seperti yang kita tahu bahwa Joyce Manor termasuk band Indie Punk terbesar di 2 dekade terakhir.
Selain Joyce Manor, terlihat juga beberapa band West Coast Indie Punk yang sering tampil di venue ini antara lain Warm Thoughts, Hillary Chilton, Summer Vacation, Winter Break, Blowout, ataupun The Exquisites.
Selain didukung oleh venue seperti VLHS yang beroperasi circa 2010-an, beberapa label di pantai barat Amerika juga berperan penting dalam tumbuh kembang style musik dari West Coast Indie Punk seperti Asian Man Records, Lauren Records, dan Phat ‘N’ Phunky.
Walaupun bukan label yang originated merilis katalog Indie Punk, namun Asian Man Records merupakan label yang merilis katalog penting dari West Coast Indie Punk yakni LP pertama dari Shinobu yang berjudul “Worstward, Ho!” dan ke depannya label ini juga merilis LP pertama dari Joyce Manor, LP kedua dari Warm Thoughts “I Went Swimming Alone”, sampai kepada hari ini terlihat label ini masih merilis beberapa band West Coast Indie Punk seperti Small Crush, Get Married, ataupun Sweet Glooms.
Selain Asian Man Records, salah satu label Indie Punk yang tercatat penting dalam peran noise dealer dari style ini adalah Lauren Records.
Label yang diinisiasi oleh Aaron Kovacs ini terhitung pernah merilis beberapa band dari West Coast Indie Punk scene seperti diskografi dari Summer Vacation, Self-Titled LP Winter Break, sampai kepada LP ‘Gloom Cruise’ dari Walter, Etc.
Lauren Records sendiri sebenarnya bukan label yang memfokuskan diri untuk merilis band-band regional West Coast saja karena dalam perkembangan ke depannya label ini signing beberapa musisi seperti Signals Midwest ataupun Talking Kind.
Selain Lauren Records, lalu ada Phat ‘N’ Phunky yang juga merupakan noise dealer dalam style musik West Coast Indie Punk. Didirikan oleh member dari Shinobu, Phat ‘N’ Phunky merupakan label asal San Jose yang cukup selow namun konsisten merilis band regional dari West Coast.
Beberapa katalog yang dihasilkan oleh band ini di antaranya LP dari Albert Square yang berjudul “I (Assume I) Know What I’m Doing”, LP perdana dari Fuss “We’re Not Alone”, sampai kepada LP dari Yulia “Big Boys Fall Hard”.
UK-Sounded Indie Punk Insurgence
Selain emerging di Amerika, terlihat bahwa “Lemuria Explosion” juga memiliki impact di skena Indie Punk di daerah lain dan untuk konteks ini kami meng-capture skena yang berkembang di daratan Britania atau U.K.
Skena di daratan Britania memang memiliki charming point-nya tersendiri terutama apabila kita membicarakan tentang corak musik yang dipresentasikan oleh skena ini.
Seperti yang kita tahu, Indie Rock dan Indie Pop merupakan dua entitas yang lahir dari satu ceruk yang sama dinamakan Post Punk. Selanjutnya atas nama new aesthetic of Punk music akhirnya Indie Pop tumbuh di daratan Britania dan Indie Rock tumbuh di daratan Amerika.
Tidak disangka kalau pada dekade 2010-an di skena musik Indie Punk, subgenre dari Indie Pop mengalami sebuah asimilasi sound tersendiri di daratan Britania bersama musik Indie Punk yang berkembang di daratan Amerika.
Eksponen Indie Punk yang mengalami asimilasi dengan elemen Indie Pop ini kami berikan label “UK-Sounded Indie Punk”.
Para eksponen ini kami kemukakan merupakan para eksponen Indie Pop yang memang sebenarnya terpengaruh dengan etos kerja, political view, dan juga spirit dari fenomena muncul Indie Punk yang lebih dahulu skenanya tumbuh di daratan Amerika.
Secara ideologi apa yang mereka kemukakan dalam musik mereka adalah perlawanan terhadap nilai-nilai patriarki dalam konteks kehidupan sosial ataupun yang berada di dalam skena itu sendiri.
Walaupun skena Indie Pop sendiri merupakan sebuah skena yang unisex secara de facto, namun perlawanan atas nilai patriarki yang dilakukan oleh kelas Non-Binary dan Queer direpresentasikan oleh skena “UK-Sounded Indie Punk” melalui para pelaku di dalam skena (Yang dimana mulai mengikutsertakan kelas Non-Binary dan Queer) dan juga makna implisit dari lirik lagu-lagu band ini.
Selain mengangkat isu gender equality, skena “UK-Sounded Indie Punk” juga embrace terhadap ide politik Anarcho dengan menjadikan Emma Goldman sebagai role model dari pergerakan musik ini. Emma Goldman sendiri merupakan seorang Anarko, Aktivis Politik, dan Penulis berketurunan Rusia.
Emma Goldman sendiri dikenal sebagai sosok penting dalam perkembangan filosofi political anarcho.
Selain dikenal dengan ide-ide anarcho-nya, Emma Goldman juga dikenal sebagai seorang free thinking rebel woman dan gagasan-gagasan feminisnya. Dan hal ini yang menyebabkan kenapa Emma Goldman sendiri didaulat sebagai role model di skena UK-Sounded Indie Punk.
To be honest, sebenarnya tidak semua band Indie Punk mempresentasikan sound “UK Sounded Indie Punk”.
As a matter of fact beberapa band UK juga masih mempresentasikan sound-sound Indie Punk US dan band-band yang kami maksud adalah band-band seperti Muncie Girls, The Great Cynics, Caves, Lakes, Bedford Falls, Personal Best, dan banyak lagi. Band-band ini kalau kami perhatikan kurang lebih banyak dirilis oleh label-label seperti Specialist Subject, Everything Sucks Music, ataupun Big Scary Monster.
Sementara untuk band-band yang UK-Sounded Indie Punk ini kami mereferensi kepada band-band seperti Martha, Joanna Gruesome, Colour Me Wednesday, Milkcrimes, Happy Accidents, The Spook School, dan banyak lagi.
Menarik garis merah dari awal mula UK Sounded Indie Punk, kami akan mulai dari Self-Titled EP dari grup band UK-Sounded Indie Punk asal Durham bernama Martha yang dirilis pada tahun 2012 di bawah platform mereka sendiri, Discount Horse Records.
Mini album ini sebenarnya bukan merupakan sebuah materi terbaik dari band asal Durham ini namun apa yang mereka presentasikan pada mini album meletakan fondasi terhadap subgenre UK Sounded Indie Punk.
Album ini merepresentasikan 5 track UK Sounded yang diisi oleh komposisi musik drum yang upbeat, sound gitar clean yang memadati setiap ruangnya dan tidak ketinggalan jaggling guitar technique yang turut mempermanis komposisi lagu-lagu dari EP ini.
Warna vokal dari Daniel Ellis pada EP ini membawa kesan tersendiri pada mini album ini. Stripped down vokal yang dipresentasikan Oasis ataupun McCarthy menegaskan tentang preposisi Martha terhadap dunia terhadap skena Indie Punk secara inklusif.
Estafet semaraknya Indie Punk dengan signatur tersendiri di daratan Britania selanjutnya dilanjutkan oleh kolektif musikal asal London yang bernama Colour Me Wednesday.
Colour Me Wednesday sendiri merupakan sebuah buah tangan dari Doveton Sister, Jennifer Doveton dan Harriet Doveton. Colour Me Wednesday merilis “I Thought It Was Morning” yang merupakan LP perdana kolektif ini dirilis pada 2013 secara kolektif oleh Dovetown Recordings dan Discount Horse.
Full length “I Thought It Was Morning” merupakan sebuah penjabaran yang jelas selanjutnya setelah EP self-titled dari Martha yang dirilis tahun 2012. Colour Me Wednesday mendefinisikan ulang esensi Indie Pop yang dibalut dengan spirit dari Indie Punk yang emerging di dekade yang sama dengan waktu LP ini dirilis.
Mendengarkan “I Thought It Was Morning” sendiri seperti mendengarkan The Weakerthans dimana John K. Samsons mulai bereksperimentasi dengan lirik yang humor dan sarkastis secara bersamaan ala Morrisey.
Tidak hanya mempresentasikan konten Indie Punk, di beberapa lagu seperti “Carefree” kolektif ini menyisipkan komposisi musik Ska 2-Tone. Dan memang kolektif ini selalu memiliki charming point tertentu di setiap katalog album yang mereka hasilkan.
Yang terasa spesial dari “I Thought It Was Morning” adalah karakter vokal dari Jennifer Doveton yang sebenarnya memberikan sebuah nyawa Indie Pop di dalam komposisi musik Colour Me Wednesday.
Tidak hanya karakter vokal yang memberikan nyawa Indie Pop bagi “I Thought It Was Morning” tetapi pronounciation yang dilakukan oleh vokalis band ini juga memberikan faktor yang serupa walaupun memang dari komposisi instrumen lain pada album ini memang masih terdengar Indie Punk-esque.
Di tahun selanjutnya merupakan waktu dimana UK-Sounded Indie Punk ini mulai mencapai titik pencapaian dimana beberapa band menghasilkan output yang cukup pivotal.
Dua di antaranya adalah LP pertama dari The Spook School “Dress Up” dan Joanna Gruesome yang berjudul “Weird Sister”. Baik kita mulai dari LP pertama yang dirilis oleh The Spook School yang berjudul “Dress Up”.
The Spook School sendiri merupakan sebuah band berasal dari Scotlandia yang dibentuk oleh Nye Todd, Adam Todd, Anna Cory, dan Niall McCamley. Dan line-up ini masih bertahan hingga band ini melakukan reuni di tahun ini.
Secara musikalitas sebenarnya The Spook School meminjam charming point musikalitasnya dari skena musik C-86 seperti Shop Assistant dan sedikit mengemulasikannya dengan sedikit energi yang dihasilkan oleh Buzzcocks.
Full length “Dress Up” merupakan salah satu rilisan yang meng-amplify subgenre UK-Sounded Indie Punk sehingga setelah rilisan ini band-band yang bernaung di bawah afiliasi serupa tumbuh.
Di tahun yang lama juga dirilis LP perdana dari grup musik asal Cardiff, Joanna Gruesome, berjudul “Weird Sister”. Album “Weird Sister” kami kategorikan sebagai artefak penting di dalam perkembangan subgenre UK-Sounded Indie Punk karena album ini merepresentasikan politik dan ideologi dari genre tersebut lebih spesifik dan radikal.
Joanna Gruesome sendiri bukan merupakan sebuah band yang mewakili Wales, sebuah negara persemakmuran, di dalam kancah skena UK-Sounded Indie Punk. Dan mungkin apa yang mereka lakukan pada “Weird Sister” adalah melambungkan skena UK-Sounded Indie Punk di kancah skena internasional.
Terlihat dari buzzing yang didapatkan oleh band ini via “Weird Sister” dimana media seperti Pitchfork turut serta dalam memberikan praise album ini. Dan wajar apabila, Joanna Gruesome dengan ini menjadi salah satu icon UK-Sounded Indie Punk di skena internasional.
Joanna Gruesome sendiri mendaur ulang sound Jangle Pop dari Teenage Fanclub, serta mengkombinasikan kemutakhiran songwritingnya dengan radikalisme hardcore punk bahkan tak ayal kalau band ini juga merapatkan diri ke dalam barisan Riot Grrrl.
Mendengarkan Joanna Gruesome sendiri layaknya seperti mendengarkan Teenage Fanclub yang bereksperimentasi dengan formula hardcore punk di dalamnya. Joanna Gruesome, via “Weird Sister”, mereproduksi songwriting yang melodis plus harmonis dan agresif di waktu bersamaan. Joanna G Forever!
Selain para eksponen awal seperti Martha, Colour Me Wednesday, The Spook School, ataupun Joanna Gruesome, perkembangan subgenre UK-Sounded Indie Punk juga disokong oleh beberapa ‘Noise Dealer’ yang mensuport merilis artefak-artefak band ini.
Mari kita mulai dari label asal London bernama Fortuna Pop! Label ini didirikan oleh Sean Price pada 1996 yang dimana juga menjadi homage untuk beberapa band Indie Pop seperti The Aislers Set, Mammoth Penguins, sampai Tullycraft.
Beberapa rilisan UK-Sounded Indie Punk yang pernah dirilis oleh Fortuna Pop! antara lain Martha dengan LP perdananya “Courting Strong”, LP perdana Joanna Gruesome “Weird Sister, “LP perdana The Spook School “Dress Up”, dan lain sebagainya.
Pada tahun 2016, via gig tahunan Indietracks Festival, Fortuna Pop! mengumumkan bahwa tahun tersebut merupakan tahun terakhir label Indie Pop ini beroperasi.
Selanjutnya terdapat Alcopop! Records yang didirikan di Oxford pada tahun 2006. Alcopop! Records sendiri dirikan oleh Jack Clothier dan Kevin Douch dengan modal awal hasil dari taruhan football match The Charlton Vs Portsmouth pada tanggal 16 September 2006.
Dalam sejarah perjalanannya, Alcopop! Records tidak hanya merilis band-band Indie Pop dan beberapa band yang ‘outside boundary’ yang dirilis di antaranya adalah Best Ex (Moniker solo project dari Mariel Loveland Candy Hearts), itoldyouiwouldeatyou (Aksi Emo/Post Rock asal Inggris), ataupun Kissisipi (Aksi fifth wave emo asal Philadelphia).
Beberapa artefak UK-Sounded yang pernah dirilis via Alcopop! Records di antaranya adalah LP pertama “You Might Be Right” dan kedua “Everything But Here and Now” dari Happy Accidents, LP perdana dari Peaness “Are You Sure?”, LP terakhir The Spook School “Could It Be Different?”, dan lain sebagainya.
Selain beberapa record label yang menjadi homage dari band-band UK-Sounded Indie Punk, terdapat Indietracks yang difungsikan sebagai sebuah ‘Melting Pot’ dari banyak band UK-Sounded Indie Punk.
Indietracks sendiri merupakan sebuah festival tahunan Indie Pop yang diadakan di museum kereta bernama Midland Railway di Derbyshire. Indietracks sendiri dipuji oleh media seperti The Guardian karena line-up dari festival ini yang yang obscure sehingga banyak fans dari musik Indie Pop, Twee, hingga Anti-Folk yang exciting untuk menghadiri event ini.
Beberapa band UK-Sounded Indie Punk seperti Martha, Colour Me Wednesday, Joanna Gruesome, The Tuts, Wolf Girl, Happy Accidents, dan banyak lagi terhitung pernah menjadi highlight dalam festival ini. Dan dengan semaraknya highlight band-band Indie Punk yang disebutkan, tak ayal bahwa eksistensi subgenre Indie Punk ini mengalami acceptance tersendiri bagi skena Indie Pop yang telah tumbuh terlebih dahulu.
Glorious Asia-Pacific Scene
Selain emerging di darata Eropa dan Amerika, tidak lupa skena Indie Punk juga berkobar di negara-negara dimana dominasi musik secara global oleh eksponennya sangat nische terjadi. Negara-negara yang kami maksudkan adalah Jepang, Singapore, Malaysia, Australia, Oceania, dan Filipina.
Scenes Report From Japan
Baik, mungkin untuk memulai dari mana mungkin kita mulai dari negara paling Utara di kawasan Asia yakni Jepang. Mungkin banyak yang memiliki sebuah view dengan ‘kualitas tersendiri’ ketika menyebutkan skena Jepang.
Kita akui bahwa skena Orgcore dari negeri Sakura ini memang berkembang secara pesat. Tidak hanya terjadi perkembangan secara eksponensial, namun skena Jepang sendiri menurut kami telah melakukan inovasinya tersendiri.
Yah bisa kami katakan hal itu sebenarnya memang telah dilakukan skena US ataupun Eropa dan dengan ini berarti skena Jepang telah memiliki preposisi yang baik di skena negara barat.
Mungkin apa yang terukur dengan preposisi di negara barat seperti yang saya katakan terjadi terhadap Malegoat. Malegoat merupakan sebuah band twinkle emo berasal dari Tokyo.
Band ini merilis debut LP pada tahun 2008 berjudul “Plain Infiltration” via sebuah record label Orgcore Tokyo legendaris bernama Waterslide Records.
Dan setelahnya band ini sempat melangsungkan beberapa lawatan tur ke US dan juga merilis beberapa split bersama band-band seperti Empire! Empire! (I Was A Lonely State), Duck. Little Brother Duck!, sampai kepada Into It. Over It.
Tidak lupa juga beberapa katalog rilisan band ini dirilis oleh label cukup terkemuka seperti Topshelf Records hingga Count Your Lucky Stars. Dan hal ini juga yang membuat band ini mendapatkan legitimasi di skena Indie Punk/Emo Internasional.
Secara musikalitas, dapat kami deskripsikan bahwa Malegoat merupakan sebuah band emo yang mengelaborasikan emo language-nya melalui Indie Rock yang berbaur dengan riff-riff Mathrock. Apabila Philly memiliki Algernon Cadwallader maka Tokyo memiliki Malegoat.
Selain Malegoat, salah satu band asal Jepang yang kami anggap notable adalah Summerman. Dan memang di antara menggilanya etos kerja, problematika properti yang akut, dan rasa kesepian masal yang tiada akhir, skena Emotive Indie Punk tumbuh bagaikan jamur yang mewakili aspirasi dari banyak anak muda di kota tersebut.
Summerman merupakan sekumpulan remaja asal Tokyo yang memilih untuk mengkomunikasikan bahasa keresahan mereka melalui DNA Indie Rock yang dibalut dengan pemanis Emotive di dalamnya.
Yang menjadi pembeda antara band-band yang dihasilkan oleh negeri Sakura ini dengan yang lain adalah rata-rata musisi dan band dari negeri ini menggunakan high pitch vokal di dalam aransemen musik mereka dan juga vibe J-Punk pada riff-riff guitar yang dihasilkan oleh band ini.
Summerman sendiri telah merilis 2 full length selama karir mereka, LP pertama berjudul “Temprature Is” dirilis oleh KiliKiliVila pada tahun 2015 dan LP kedua berjudul “Fan” dirilis secara mandiri oleh Super Capsaicin Records.
Dan tahun 2021 kemarin, band asal Tokyo mengejutkan para pemerhati dan juga teman skena di Jepang sana dengan mengumumkan bahwa sang bass player dari band ini, Tasuya Yamashita, meninggal dunia karena serangan jantung.
Walaupun sempat bermain di festival orgcore DIY, Matsuri, di tahun 2023 namun belum ada sinyal lebih jauh mengenai next work yang dihasilkan oleh Summerman.
Tokyo memang menjadi salah satu melting pot bagi skena Indie Punk yang tumbuh subur di dekade 2010 dan selanjutnya band yang kami anggap cukup influensial bagi skena Indie Punk Jepang adalah The Firewood Project.
The Firewood Project merupakan sebuah band yang dibentuk dari sekumpulan individu penggiat skena Emo/Melodic Punk Jepang. Band ini diinisiasi oleh Hirabashi Kazuya yang dikenal juga sebagai vokalis/gitaris dari unit Melodic Hardcore kenamaan Jepang bernama Husking Bee dan Hajime Kishino yang dikenal tour booker dan juga bass player dari Malegoat.
Band ini merilis LP perdana mereka berjudul “Causes” pada tahun 2018. Di tahun yang sama band ini melangsungkan lawatan tur di US dan bermain banyak sekali sirkuit gig lokal. Di tahun 2019 band ini akhirnya memiliki kesempatan untuk bermain di gig Orgcore akbar, The Fest 17, bersama band lainnya seperti Retirement Party, MakeWar, Spanish Love Songs, dan banyak lagi.
Berbicara mengenai konten musik yang dipresentasikan oleh The Firewood Project, yang unik adalah background dari masing-masing personil dari band ini yang berbeda-beda yang justru memperkaya musik dari band ini.
Mungkin secara general dapat kami gambarkan bahwa The Firewood Project mendispersi elemen melodious dari The Weakerthans yang secara bersamaan dirakit bersama elemen emotive lainnya seperti The Get Up Kids ataupun Promise Ring.
Dan memang signatur songwriting dari Hirabashi Kazuya sendiri yang mengkorporasikan classic elemen J-Punk ke dalam elemen musik The Firewood Project dan hal ini yang memang membuat musik dari band ini semakin menarik.
Mungkin masih banyak lagi sebenarnya highlight yang seharusnya diberikan kepada band-band yang ada di dalam skena Indie Punk negeri Sakura, oleh karena itu dalam tulisan ini kami tidak juga mencantumkan beberapa nama sebagai honourable mention dan juga mungkin dapat didengarkan sebagai referensi seperti Falls, Turncoat, Off Season, Without, dan Hello Hawk.
Scenes Report From Australia & Oceania
Setelah berbicara skena regional di Jepang, mari kita berlanjut kepada skena negeri kangguru, Australia. Kalau ngomongin skena Australia sendiri sebenarnya udah ngomongin kalibernya sama kaya skena US ataupun UK karena dalam kenyataannya band seperti Camp Cope dan The Smith Street Band merupakan band yang sudah diperhitungkan eksistensinya di skena Indie Punk Internasional.
The Smith Street Band merupakan salah satu nama yang melambung dari skena DIY lokal hingga dikenal sebagai sebuah band yang merepresentasikan eksistensi skena regional Australia di era awal-awal keeemasan Indie Punk dekade 2010-an.
The Smith Street Band dan Wil Wagner memang dua hal yang tidak dipisahkan keberadaannya. Multi instrumentalis yang bernama Wil Wagner memang memiliki kualitasnya tersendiri dalam songwriting hingga band ini memang diakui eksistensinya di kancah skena internasional.
Diutarakan oleh Wil Wagner bahwa nama The Smith Street Band diambil dari pelesetan Bruce Springsteen and the E Street Band. Tapi kayanya justru nama ini menjadi lucky charm dari band ini.
Kami nilai bahwa apa yang coba The Smith Street Band presentasikan pada musik mereka merupakan salah satu kunci hingga mereka mencapai recognition seperti sekarang. The Smith Street Band memproduksi ulang elemen sakral dari Andrew W.K. dan serta menginterpretasikan ke dalam aksen lokal yang sungguh khas.
Selama 1 dekade ke belakang, band ini telah merilis 6 LP yang dirilis oleh Poison City Records dan label yang dikelola oleh The Smith Street Band itu sendiri bernama Pool House Records. Selain full length yang memiliki review positif, band ini juga telah tampil di festival akbar seperti The Fest dan menjadi headline di acara tersebut.
Setelah The Smith Street Band, band yang kami berikan highlight selanjutnya adalah Camp Cope. Camp Cope merupakan sebuah band dari sekte Indie-Punk-Cayetana yang kami cap berhasil.
Tahun 2014 setelah perilisan “Nervous Like Me” dari grup band Philly, Cayetana, oleh Tiny Engines nampaknya memaparkan sebuah kekuatan tersendiri terhadap Gender Equality sampai kepada 3 wanita asal Melbourne ini percaya diri untuk menampakan dirinya ke permukaan dan menamakan diri mereka Camp Cope.
Harus diakui bahwa self-titled LP mereka yang dirilis pada tahun 2016 merupakan LP yang memiliki kekuatan tersendiri sehingga mampu melambungkan trio ini ke dalam skena Internasional Indie Punk. Inget banget sampe album ini direkomendasiin ama Bapak Jeff Rosenstock pasca tur beliau di Aussie.
Tapi kalau boleh diakuin lagi di antara ketiga LP yang diproduksi trio ini, LP ketiga merupakan LP yang paling soulful secara konten musik dan juga terdengar indah banget. Melodi bass guitar yang dihasilkan oleh Kelly-Dawn yang dilubrikasi dengan soulful-nya vokal dari Georgia Macdonald membuat tiap layer dari album ini terdengar personal, bahkan lebih personal dari personal diary-mu.
Kesuksesan dari LP pertama trio ini berbuah hasil kepada meleknya label ternama asal Boston seperti Run For Cover hingga meng-sign label ini di LP kedua mereka dan juga di tahun berikutnya band ini melangsungkan tur US mereka bersama Oceanator dan An Horse.
Dalam artikel ini kami juga akan me-mention beberapa aksi-aksi Indie Punk asal Australia yang cukup pantas untuk disebutkan namanya di sini seperti Luca Brasi, The Hard Aches, ataupun The Lazy Susans.
Setelah menyebutkan beberapa nama di skena Indie Punk Australia, tidak lupa kami juga akan memuat beberapa aksi dari daratan Pasifik/Oseania yang namanya memang sudah cukup melambung di skena Internasional juga seperti The Beths dan Carb On Carb asal New Zealand.
Banyak yang berpendapat bahwa New Zealand dan beberapa tempat lainnya di Oceania merupakan salah satu tempat paling aman di bumi dengan tingkat stabilitas politik yang baik dan juga kriminalitas yang rendah. Namun secara de facto justru musik subkultur juga tumbuh dengan baik di tempat ini.
Mungkin salah satunya musisi yang akan kami hadirkan di dalam artikel ini adalah The Beths. Kami rasa cukup representatif juga kalau menyebutkan aksi ini karena eksistensi The Beths sendiri yang cukup meng-global dan membawa nama Oceania ke hadapan kancah skena dunia.
The Beths sendiri merupakan band yang berasal dari Auckland dan kuartet ini diceritakan awalnya merupakan 4 orang mahasiswa musik dari University of Auckland dan memperdalam studi tentang Jazz. The Beths sendiri merupakan sebuah nama yang diambil dari nama sang vokalis, ElizaBETH Stokes.
Beliau sendiri menyebutkan bahwa hal ini dia lakukan dengan inspirasi dari karakter Lorelai Gilmore yang memberikan nama anaknya sama dengan dirinya pada film Gilmore Girls. Kuartet asal Oseania ini so far telah merilis 3 full length yang telah di-review dan dipuji oleh banyak media besar seperti Pitchfork ataupun Rolling Stone.
Dengan tiga LP tersebut, kuartet ini telah lalu lalang melakukan lawatan tur di banyak belahan dunia seperti Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Australia. Dan yang mencengangkan lagi bahwa The Beths sendiri akan melakukan first show mereka di Jakarta pada November ini untuk Joyland Festival!
Menurut kami The Beths merupakan sebuah band yang memang memiliki kalibernya tersendiri dalam ranah songwriting dan juga music production. Kami amini bahwa karakter songwriting yang sangat kuat dari Elizabeth Stokes mengalir sangat deras dalam DNA musik The Beths.
Dan The Beths, di setiap karyanya, telah mengelaborasikan kepada setiap viewernya tentang bagaimana musik Indie Punk apabila dimainkan dan diproduksi dengan kualitas sebaik-baiknya. Setiap piece dari kuartet ini memang terdengar sungguh flawless!
Setelah The Beths, lalu ada Carb On Carb asal Auckland yang juga menghiasi skena dari Oceania. Carb On Carb sendiri merupakan aksi Twinkle Emo dengan format two piece.
Yes! Band ini hanya memiliki 2 personil dalam mengolah setiap komposisi musik di setiap materialnya. Band ini berisikan Nicole Gaffney pada gitar dan vokal dan James Stuteley pada drum. Asli jadi inget band Indie Punk asal Seattle, Shellshag, cuman bedanya musik mereka aja rada emotive.
Tidak hanya membuat buzzing secara lokal saja, dengan berbekal 2 LP yang dirilis tahun 2015 yang berjudul “Carb on Carb” dan tahun 2018 yang berjudul “For Ages”, duo ini telah berselancar tur ke beberapa belahan dunia seperti US pada tahun 2015 (Sempat bermain juga di The Fest), lalu Jepang pada tahun 2019.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pemilihan format duo untuk aksi Emotive Indie Punk asal New Zealand ini. Pasalnya materi yang mereka presentasikan cukup kuat sih dan yang menariknya adalah band ini mampu menarik garis kuat antara riff Mathrock Guitar yang dikombinasikan dengan elemen Quiet-Loud Emo 90-an.
Gak heran kalau label cult seperti Square of Oppisition sempat menarik duo ini ke dalam jaringan roster mereka.
Scenes Report From Singapore
Setelah Negara Ocenia, selanjutnya kita beralih kepada negara kecil di Asia Tenggara namun banyak dari eksponennya memiliki taring di kancang skena Indie Punk Internasional, Singapore.
Kami bisa katakan bahwa apa yang terjadi selama 2 tahun ke belakang merupakan sebuah leaping quantum dari skena Singapore yang walaupun merupakan era pandemi namun banyak dari musisi/band dari negara ini sign dengan label dari Amerika ataupun Eropa.
Dan berbicara mengenai skena Singapore sendiri memang banyak pihak yang berperan terhadap development skena Indie Punk di negara ini. Lets count dari sebuah venue bernama Lithe House, kolektif musik DIY bernama Dogswain, ataupun promotor musik bernama ACPHC.
Secara spesifik, selain banyak dikenal sebagai tempat berasalnya band grindcore kaliber dunia bernama Wormrot. Tempat ini juga memiliki sebuah band yang eksistensinya sendiri telah diakui oleh skena Internasional yakni Forests.
Forests sendiri merupakan sebuah band Twinkle Emo yang telah eksis dari tahun 2017-an dimana trio ini merilis full length-nya yang berjudul “Sun Eat Moon Grave Party” yang dirilis oleh Lithe Records.
Dua tahun kemudian, LP kedua dari band ini yang berjudul “Spending Eternity In A Japanese Convenience Store” dirilis oleh salah satu label Emo/Indie kenamaan asal UK bernama Dog Knights Production.
Full length kedua ini yang cukup melambungkan nama Forests di skena Emo Internasional. Dan memang nama Forests sendiri justru lebih memiliki konfirmasi dari generasi so called “5th Wave Emo” walaupun band ini sendiri lahir di mid 2010-an.
Lalu pada tahun 2023, trio ini merilis “Get In Losers, We’re Going To Eternal Damnation” di bawah bendera Dog Knights Production dan di tahun yang sama juga melangsungkan tur ke negara Paman Sam.
Tur ini tidak sembarang tur karena dari tur ini membuktikan bahwa buzzing band ini nampaknya telah dinanti oleh para penggemar dan pelaku skena di sana. Hal ini terlihat dari antusiasme penonton selama tur ini berjalan yang cukup ramai memadati space baik gig kecil ataupun besar selama tur tersebut.
Bahkan ketika band ini mengalami kenaasan dalam tur yang dimana semua gear dari band ini dicuri di tengah jalan dan pada akhirnya crowdfunding-pun dikumpulkan untuk mengganti gear-gear yang baru. Malah bass guitar si Darrel lebih keren penggantinya ahaha!
Skena Emotive Indie Punk memang merupakan skena yang cukup besar di area Asia yang dimana hal ini cukup berbeda apabila kita membandingkannya dengan skena Australia-Oceania yang dimana banyak sekali band yang lebih cenderung mengadopsi sound Indie Rock US.
Begitu juga pada skena Singapore dan salah satu band dari genre Emotive Indie Punk yang akan kami highlight adalah Xingfoo&Roy. Band yang baru saja melangsungkan last show-nya tahun ini telah eksis dari tahun 2016 dimana mereka merilis LP perdana mereka yang berjudul “10 Dating Tips For The Spineless Addicted To Pornography”.
Band ini dikenal sebagai sebuah band yang cukup intens dalam mengkonsumsi alkohol ketika tampil di gig. Namun anehnya justru mereka dengan seperti itu masih bisa being descent di setiap performance mereka.
Mungkin yang cukup notable adalah beberapa rilisan terakhir mereka seperti EP yang berjudul “Late To The Party” ataupun LP terakhir yang dirilis pada tahun 2023 yang berjudul “Green Around The Gills” yang menurut mimin merupakan rilisan terbaik yang pernah diproduksi oleh band ini.
Dan dalam bahasa musikalitasnya, band ini mempresentasikan kepada pendengarnya komposisi musik Indie Rock yang dibalut dengan riff guitar Math Rock yang light dan juga lirik personal yang juga merupakan representasi dari keresahan banyak muda-mudi Singapore di era modern.
Di dalam riwayat hidup band ini, Xingfoo&Roy telah melangsungkan beberapa lawatan tur ke area Asia Tenggara seperti Malaysia ataupun Indonesia dan Jepang. Tahun 2023 kemarin merupakan tur terakhir trio ini sebelum akhirnya membubarkan diri.
In other words, I wish anyone else around the globe could discover this band though the band is disbanded already.
Selain banyak dari band yang terpengaruh dengan riff guitar Math Rock, yang cukup dari diversitas sound yang ada di skena Singapore adalah terdapatnya beberapa band yang masih embrace di sound Indie Rock.
Salah satu yang kami maksudkan adalah sebuah band bernama Long Live The Empire. Saya sendiri menemukan Long Live The Empire dari tumpukan rekomendasi band Singapore yang dipenuhi oleh band Twinkle Emo dan jujur band ini sebenarnya sebuah band yang cukup refreshing dalam skena regional.
Sejauh ini, Long Live The Empire telah merilis 3 buah EP yang dirilis secara independent dimana EP pertama yang berjudul “Ten Thousand Years” dirilis pada tahun 2016, lalu pada tahun 2018 band ini merilis EP kedua berjudul “Underbite”, dan tahun 2022 kemarin band ini merilis EP ketiga mereka yang berjudul “Deathless”.
Long Live The Empire merupakan sebuah band yang kami katakan merupakan sebenarnya band yang bisa gede di skena luar cuma mungkin kurang effort aja. Secara musikalitas sendiri, Long Live The Empire mengadopsi sisi humor dari Joyce Manor dan di waktu yang sama juga menaburkan bumbu Emotive Indie Punk ala Modern Baseball di dalam aransemen musik mereka.
Sebenarnya kalau kita ngomongin skena Singapore itu merupakan skena yang cukup diverse secara identitas musik walaupun pelakunya itu-itu aja. Hal ini kami wajarkan karena Singapore sendiri bukan negara yang besar dengan warga yang banyak juga.
Beberapa honourable mention kami layangkan kepada band seperti Terrible People, Blush, Carpet Golf, ataupun Blush yang cukup tepat untuk kami layangkan sebagai referensi band Indie Punk asal Singapore.
Scenes Report From Philippines
Mimin pertama kali encounter dan tahu eksistensi dari skena Filipina adalah melalui sebuah band bernama Typecast. Dan Typecast ini merupakan sebuah band yang merepresentasikan sound Post Hardcore signatur 2000-an.
Dan dari style musik yang dipresentasikan Typecast tersebut sebenarnya apa yang akan diadopsi dari style Indie Punk di Filipina sendiri sudah cukup terbayang bahwa cukup intensnya band-band yang mempresentasikan corak musik Emotive Indie Punk pada roots musik mereka.
Untuk memulai benang merah dari skena Indie Punk di Filipina mari kita mulai dari sebuah band asal Manila yang bernama Irrevocable. Mimin sendiri menemukan band ini dari sebuah situs musik Hardcore/Punk/Indie online bernama Unite Asia.
Irrevocable sendiri sepanjang rentan aktif band-nya telah menghasilkan satu buah demo berjudul “Night Shift” pada tahun 2017, 2 buah single berjudul “You Know You’re Not Sorry” pada tahun 2020 dan “For John And Robert” di tahun yang sama, dan 2 buah EP yakni “Where Is Home?” pada tahun 2018 dan EP yang berjudul “Generational Curses” yang dirilis tahun ini.
Tercatat, band ini juga sering melakukan lawatan tur ke negeri seberangnya, Singapore, tapi kayanya belum pernah melakukan tur ke negara-negara sebelahnya lagi kaya Indonesia ataupun Malaysia.
Irrevocable sendiri secara mantap menghadirkan blazing Indie Rock tunes yang dikombinasikan dengan riff guitar yang emotive ataupun drum yang terdengar terkadang sangat black metal ataupun grindcore.
Dan memang background dari para personil Irrevocable membentuk musik yang dipresentasikan mereka sekarang. Beberapa personil dari band ini juga aktif di beberapa band Hardcore/Punk/Metal/Indie seperti Beast Jesus, Thirds, Lindenwood, dan Browse In Bridge.
Setelah Irrevocable, next highlight akan kami berikan kepada sebuah band asal Manila bernama The Mind Is A Terrible Thing.
Band ini memulai debut dengan merilis sebuah kompilasi album pada tahun 2014 berjudul “Song A Week 2014”. Album ini merupakan sebuah album yang berisikan total 26 lagu dimana lagu-lagu yang ada di lagu ini ditulis dand dikumpulkan setiap minggu.
Lalu pada tahun 2017, band ini merilis EP perdana mereka berjudul “Welcome To The Monkey House”, dan pada tahun 2019 trio ini merilis LP perdana mereka berjudul “Mother Night”.
Berbicara musikalitas dari The Mind Is A Terrible Thing sendiri bahwa band ini telah secara sukses mengemulasikan elemen Indie Rock Into It. Over It. di era “Propher” serta tidak lupa trio ini juga membumbui musik mereka dengan sedikit riff-riff guitar twinkle ala Marietta.
Kami memiliki feeling bahwa band ini akan memiliki ‘sesuatu’ yang dapat mereka bawa dari skena Philipines kepada skena global.
Satu lagi band yang akan kami berikan highlight setelah The Mind Is A Terrible Thing yakni Thirds. Thirds merupakan trio wanita asal Metro Manila yang mencoba merepresentasikan Math Rock yang dimana setiap layer dari komposisi musiknya terisi dengan padat dan menolak untuk mengolah komposisi musik yang biasa saja.
Thirds sendiri merupakan sebuah band yang sebenarnya belum pernah merilis full length namun di antara 2 EP yang trio ini pernah hasilkan, band ini dengan berani melakukan tur Jepang pada 2020 kemarin.
Mini album pertama dirilis oleh trio ini pada tahun 2018 berjudul “3/3” dan mini album kedua dirilis pada tahun 2020 berjudul “YORK1”. Dan sekedar informasi beberapa member dari Thirds ini dikenal aktif di beberapa band lokal Philipinnes seperti Irrevocable dan Nyctinasty.
Scenes Report From Malaysia
Selanjutnya scene report akan kami teruskan kepada Negeri Jiran, Malaysia. Mungkin sampai detik ini ketika menyebutkan negara ini yang teringat di dalam kepala mimin adalah masifnya intensitas produksi dari skena hardcore/punk di tempat ini.
Bahkan skena Skramz di negara ini telah berada jauh sebelum skena lokal dimulai dan memang beberapa negara telah melambung di hadapan skena Internasional Hardcore/Punk.
Namun hal itu tentunya tidak menjadikan absen-nya eksistensi skena Indie Rock di negara ini. Beberapa nama yang kami catat turut meramaikan wave Indie Punk berasal dari negara ini dan salah satunya adalah Milo Dinosaur.
Sebenarnya kami juga ampir aja terkecoh ketika mendengarkan Milo Dinosaur karena jujur saja ketika mimin pertama kali membelikan CD dari band ini mimin sendiri berekspektasi akan mendengarkan sebuah band yang mengadopsi sound Indie Rock ala Teenage Fanclub ataupun Dinosaur Jr.
Justru sebaliknya Milo Dinosaur sendiri mengemas sebuah kandungan musik Post Hardcore yang dibalut dengan sense of songwriting dari Indie Rock. Dan yang paling menarik dari musik Milo Dinosaur itu sendiri bahwa band ini secara keseluruhan menggunakan lirik Bahasa. Asli unik banget!
Terlihat bahwa beberapa member dari Milo Dinosaur sendiri merupakan beberepa member dari band yang masih aktif ataupun tidak di skena Malaysia seperti Orbit Cinta Benjamin, Man Under Zero Effort, Sweet Ass, Sphere, Epaulard (41), Schloka, Triste, sampai kepada Gasoline Grenade.
Sebelum merilis full length yang berjudul “Dengan Ikhlas” pada tahun 2018, band ini juga merilis single-single pra rilis seperti “Usah Resah”, “Sahabat”, dan “Tabah” pada tahun 2017. Lalu single “Tabah” dirilis pada tahun 2018.
Selanjutnya setelah Milo Dinosaur, kita mengalihkan spotlight kita kepada sebuah band asal Kuala Lumpur bernama Social Circuit. Yang menarik dari skena Indie Punk Malaysia adalah banyak member dari band yang membawakan musik Indie Punk di sini ternyata berkecimpung langsung di skena Hardcore/Punk Malaysia.
Dan salah satunya adalah Social Circuit dan memang dari band ini banyak yang mengenal vokalis dari band ini, Dean Sani, yang juga aktif di band Hardcore bernama Kids On The Move.
Sepanjang aktifnya band ini, memang secara de facto band ini belum banyak menghasilkan rilisan namun buzzing dari band ini nampaknya sudah cukup besar. Hal ini terbukti dengan lawatan tur yang diadakan 2 kali yakni pada tahun 2018 dan 2023.
Selain itu band ini telah merilis Three-Way-Split bersama 2 buah band bagus di daratan Asia Tenggara, antara lain Tapestry dari Singapore dan Beeswax dari Indonesia.
Sepanjang rentan hidup dari band ini, telah menelurkan 3 rilisan dari tahun 2018 sampai 2019. Pada tahun 2018 band merilis sebuah Demo EP yang berisikan 3 lagu dan di tahun yang sama band ini merilis EP yang berjudul “Borrowed Time”. Pada tahun 2019 band ini merilis 3 Way Split bersama Tapestry dan Beeswax berjudul “Best Kept Secret”.
Secara musikalitas, dapat mimin gambarkan bahwa Social Circuit mengkomunikasikan komposisi musik Indie Rock mereka yang dikemas bersama dengan elemen radikal dari Post Hardcore. Saya dapat merasakan hawa Rival Schools sampai Sparta di dalam musik mereka.
Selanjutnya highlight kita fokuskan kepada Playburst. Playburst merupakan sebuah band dari Kuala Lumpur yang dimana band ini juga merupakan sebuah ’emotional outlet’ dari member-member-nya yang juga aktif di skena Indie/Hardcore/Punk seperti Couple, Jaddah, Crack Guilty, Pakatan Haram Jadah, Tools Of The Trade, Code Error, sampai Kah-Roe-Shi.
Selama rentan aktifnya band ini, Playburst telah menghasilkan satu buah EP yang judulnya sama dengan nama bandnya itu sendiri pada tahun 2019 dan di tahun yang sama band ini merilis LP perdana mereka yang berjudul “Positive Jam”.
Jujur mimin juga kaget pas tau ternyata vokalis dari band ini, Cik Aidil, bahwa juga merupakan vokalis dari band Indie Rock 2000-an bernama Couple! Asli ane tau Couple tuh jaman SMP pas kompilasi “Radio Malay” and that band were the first band introducing me into Lo-Fi Indie Rock tunes. Pas pertama tau kalau beliau ternyata founder Couple, kita langsung kaya starstruck gitu hahaah! (Kampay bener yak kita).
Dalam komunikasi musiknya, Playburst mempresentasikan warna musik Indie Rock yang coba dibalut dengan riff guitar Math ala Toe dan mungkin dengan ini dapat kami utarakan Snowing ataupun Algernon Cadwallader sebagai kompas musikalitas dari band ini.
Sekian mungkin report kami dari skena Malaysia dan memang kami akui, untuk datanya sendiri, kami masih memiliki kekurangan (mungkin?!) untuk mengidentifikasi band-band yang aktif di skena Indie Punk Malaysia. So if you all got some names to write, please don’t hesiatate to let us know okay 😉
Retracing Steps, A Report From Local Indie Punk Scene
Berbicara mengenai skena Indie Punk lokal, tentunya hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang eksis namun secara kongkrit genre ini belum pernah ada yang mendifinisikannya ataupun membuat artikelnya secara spesifik.
Pada kesempatan kali ini kami sebenernya gak akan membuka skena ini secara spesifik sih cuma memungkinkan saja apa yang kami tulis ini merupakan sebuah artikel inisiasi.
Inisiasi yang nampaknya dari banyak eksponen di dalam skena itu sendiri sadar tentang musik yang mereka mainkan.
Early Waves dan Gig #LemuriaJkt
Menarik garis merah skena Indie Punk sendiri merupakan hal yang cukup abu-abu dan mimin sendiri sebenarnya sedikit ‘struggle’ dalam memuat sebuah insight mengenai genre ini.
Musik Indie Punk sebenarnya merupakan sebuah musik yang sebenarnya dekat dengan kehidupan mimin namun balik lagi hal ini tidak seperti subgenre “Easycore” ataupun “Skate Punk” yang dimana banyak dari eksponen nya self-claiming terhadap platform musik mereka berada.
Berbicara mengenai skena Indie Punk lokal sendiri, mimin membuka banyak wacana dan koreksi soal ini namun untuk kesempatan ini kami ingin memulainya dengan Woodcabin.
Woodcabin merupakan sebuah band yang timbul pasca aksi Pop Punk Wahid Dekade Ini bernama Saturday Night Karaoke bubar. Mimin sendiri sebenarnya tidak begitu percaya kalau SNK sendiri akan reunian dan menganggap Woodcabin merupakan sebuah harapan baru bagi skena Orgcore lokal.
Woodcabin sendiri terdiri dari 3 pria Jatinangor yang sekolah di Unpad dan mencoba memainkan musik Twinkle Emo. Yes they did play this style of music way before you hear the Javanese version of “Your Head As My Favorite Bookstore”.
Kami boleh berpendapat bahwa 3 individu dari Woodcabin ini, di era tersebut, merupakan 3 wota yang mencoba mengelaborasi emosional tematik mereka via platform bernama Twinkle Emo.
Woodcabin merupakan sebuah band yang memiliki life span tidak cukup panjang sebenarnya. Hal ini dibuktikan dengan diskografi mereka yang sebenarnya tidak cukup banyak juga karena selepas 2014 sudah tidak ada lagi material yang dihasilkan dari band asal Jatinagor ini.
Pada tahun 2013, trio ini merilis sebuah Demo Tape yang dirilis oleh netlabel Tsefulha/Tsefuela Records.
Demo ini kelak melambungkan nama mereka di kancah skena nasional yang dibuktikan dengan jadwal manggung di luar kota Bandung dan merilis sebuah split EP di bawah bendera Sailboat Records bersama aksi Twinkle Core asal Depok bernama What The Sparrow Did To You.
Jadi dari artikel ini kami simpulkan 2 band bernama Woodcabin dan What The Sparrow Did To You merupakan 2 band awal yang kami kategorikan sebagai band yang mempelopori musik Indie Punk di skena lokal.
Sama seperti Woodcabin, What The Sparrow Did To You sendiri sebenarnya merupakan sebuah band yang later on menjadi cikal bakal 2 band yang cukup diomongin buzzingnya sekarang yakni Bedchamber dan Cubfires.
Kami mendeskripsikan musik What The Sparrow Did To You sendiri sebagai sebuah keabsolutan dari subgenre Emo-esque Indie Rock yang hidup di dalam sebuah denyut nadi bernama Punk. Gitu lah deskripsinya lebay, cuma kalau band ini boleh reunian saya rekomendasikan untuk mengalami reuni di Sychronize Fest Emo Night Stage. AMIN!
Sparrow sendiri selepas split bersama Woodcabin, vakum sampai menghasilkan EP terbaru di tahun 2017 yang berjudul “Gestalt” dirilis oleh Sailboat Records.
Ketika emerging di banyak belahan dunia di dekade awal 2010-an, akhirnya skena dari negara dunia ketiga inipun terpapar oleh ledakan skena Indie Punk global. Walaupun terdapat 2 nama dari subgenre Indie Punk sudah establish di skena lokal, namun dapat kami katakan bahwa gig #LemuriaJkt juga memegang peranan penting di dalam diaspora skena Indie Punk Lokal.
Gig ini diadakan pada bulan Februari tahun 2014 yang dimana Lemuria pada saat itu sedang dalam lawatan untuk promo album terbaru mereka yang berjudul “The Distance Is So Big”. Terdapat 5 band yang cukup diverse secara genre musik dan mewakilkan tentang apa yang mereka usung di zaman tersebut.
Line-up tersebut adalah Vague yang merepresentasikan sound D.C. Post Hardcore, Barefood dengan sound US Indie Rock, Talking Coasty yang dikenal sebagai band Surf Pop, Brave Heart sebagai line-up yang cukup Hardcore, dan Saturday Night Karaoke yang dikenal dengan 90’s Pop Punk sound-nya.
Secara hitungan penonton, mungkin bukan merupakan gig dengan kapasitas yang masal namun apa yang menjadikan gig ini spesial adalah vibe dan crowd yang eksis di gig tersebut sangatlah positive. We were young and so godamn glad to know each other at that time!
Secara sukarela banyak dari kami yang menonton menghabiskan suara kami, stage dive, dan piling up ketika anthem seperti “Pants” berkumandang. Kami yakin malam tersebut merupakan malam yang terbaik untuk menonton Lemuria dalam career span mereka.
FUKKING MISS YOU SHEENA, ALEX, MAX!
Tanpa harus berspekulasi, beberapa kami pasca gig ini memang menghadirkan insight yang cukup spesial di mata kami. Lebih dari waktu terbaik yang kami habiskan selama hidup kami, di masa depan terdapat individu-individu yang akhirnya membuat band-band baru ataupun establishing a record label selepas gig ini.
Salah satunya adalah Dandy Gilang. Asli Dan itu malem gue gak sadar ada lo! Dan memang apa yang menjadi motivasi Dandy Gilang bersama partner hidupnya, Anggi, membuat sebuah band bernama Much adalah pengaruh Lemuria yang cukup besar waktu itu.
Dan Much sendiri akhirnya menjelma sebagai sebuah band Indie Punk yang namanya banyak diperhitungkan di kancah nasional. Hal ini dibuktikan dengan intesitas band ini tampil di acara-acara bergengsi ibukota dan juga berhasil tembus di media-media besar ibukota.
Sejauh ini, Much telah menghasilkan 1 buah single berjudul “Skin By Skin, 1 buah EP fenomenal berjudul “The Closest Thing I Can Relate To” dirilis pada 2015, dan 1 full length dengan judul “Halfway Through” yang dirilis pada tahun 2018.
Selanjutnya setelah, Dandy Gilang membentuk Much ada Tirta bersama pasangannya Keke yang sebelumnya dikenal dalam sebuah band bernamakan Ways mengubah music directionnya.
Ungkapnya bahwa Ways merupakan side project yang dia bentuk bersama pasangannya atas kekaguman mereka terhadap grup band Paramore. Namun gig #LemuriaJkt membawa perubahan yang cukup signifikan nampaknya bagi Tirta.
Ways-pun berubah menjadi Take dengan musical direction yang berbeda. Dapat didengar di sini tone guitar Tirta terdengar lebih clean dipadukan dengan ketukan drum yang uplifting.
Apabila kami dapat menggambarkan bahwa EP perdana Take, “A Storyline”, merupakan sebuah gambaran musikalitas Indie Punk yang dapat anda rasakan nyawanya di komposisi musik band seperti Mixtapes, Chumped, ataupun Lemuria di era-era awal. EP perdana band ini yang berjudul “A Storyline” dirilis dalam format tape oleh Rizkan Records.
Selanjutnya setelah 2 pasangan tadi membentuk band, nampaknya hal ini terjadi kepada Avin Amukredam juga. Dimana di gig tersebut beliau juga terlihat menjadi guest member drummer dari Saturday Night Karaoke.
Walaupun berjarak cukup jauh dengan gig #LemuriaJkt, namun kurang lebihnya gig ini memotivasi Avin sendiri untuk di masa depan membentuk aksi Emotive Indie Punk bernamakan Cubfires.
Cubfires sendiri telah merilis 7 buah single, 1 kompilasi diskografi yang dirilis oleh Slow Down Records pada tahun 2020, sebuah mini album berjudul “Stay Gone” oada tahun 2018, dan baru saja merilis sebuah full lenght perdana berjudul “… Is A Evolving Mess” dirilis oleh Guerilla Records pada tahun 2023.
Cubfires sendiri merepresentasikan musik Emo dengan wrap up songwriting Indie Rock sense yang sangat baik. Dan lucunya band ini juga sedikit menyematkan vibe 2000’s pop punk yang direpresentasikan dari riff-riff guitar Ayub.
Singkat kata vibe Emotive Indie Punk yang dibawakan oleh Cubfires sendiri terpengaruh oleh band-band seperti The Get Up Kids, Modern Baseball, hingga The Starting Line.
Karena tadi sudah ada beberapa pihak yang membuat band pasca gig #LemuriaJkt, ternyata ada juga seseorang yang akhirnya melakukan “U Turning” setelah gig ini, yakni Rizkan Records.
Setelah merasakan energi yang luar biasa dari gig #LemuriaJkt, akhirnya seseorang yang bernama Rizkan memutuskan untuk berfokus untuk merilis rekaman-rekaman dari band Pop Punk, Indie Punk, Folk Punk, dan Orgcore.
Semenjak span hidupnya dari tahun 2015, label ini telah menghasilkan 50 katalog yang pada akhir katalognya dihiasi oleh banyak musisi-musisi dari skena Indie Punk lokal seperti Linger, Knowhere, Longest, Cubfires.
Dan tidak hanya merilis banyak musisi lokal, label ini juga dikenal merilis ulang banyak musisi Indie Punk mancanegara seperti Colour Me Wednesday, Martha, Block Fort, hingga Long Knives.
Kesuksesan Beeswax dan Eleventwelfth
Dekade pertengahan 2010 merupakan sebuah dekade dimana subgenre Indie Punk tumbur subur di skena global. Namun nampaknya fertilitas kultur ini tidak hanya terjadi di skena luar saja, hal ini pun berlaku pada skena musik lokal.
Dengan munculnya beberapa band di awal 2010-an yang membawa mengusung musik Indie Punk seperti Woodcabin, What The Sparrow Did To You, ataupun Much, hal ini justru menjadi sebuah pemantik untuk bermunculannya banyak band dengan kualitas yang lebih baik dari segi songwriting ataupun sound production.
Pada tahun 2016, sebuah band Emotive Indie Punk asal Malang, Beeswax, merilis debut full length mereka yang berjudul “Growing Up Late”. Album “Growing Up Late” sendiri merupakan album yang dirilis oleh label Surabaya bernama Barongsai Records.
Cukup mengejutkan sebenarnya untuk akhirnya mengetahui bahwa “Growing Up Late” akhirnya dirilis oleh Barongsai Records bukan Haum Entertainment dalam format tape.
Album “Growing Up Late” menampilkan 10 track secara total dan pada album ini Beeswax menampilkan sebuah komposisi dari songwriting yang lebih terarah dan lebih compact secara material apabila dibandingkan dengan EP perdana mereka yang dirilis tahun 2014 yang berjudul “First Step”.
Beberapa nomor di album ini yang cukup menguatkan eksistensi Beeswax antara lain “Escape The Truth”, “The Most Pathetic Man On Earth, “Bleed”, dan “Start The Line Break It All”.
Selain dari sisi material dan komposisi lagu yang cukup oke pada “Growing Up Late”, yang menjadi nilai terbaik dari album ini adalah sound production yang dihasilkan. Kami tidak ingin mengatakan bahwa album ini memiliki output yang sungguh sonik tetapi terjadi harmonisasi dari sound production dengan sense of songwriting yang mereka presentasikan di album ini.
Sound drum yang tidak terdengar terlalu tebal ataupun overated, tone guitar yang terdengar renyah dan jelas, plus di beberapa poin kami menilai sense of being lo-fi di beberapa aspek produksi sound di album ini menciptakan suasanya tersendiri.
Album ini tak ayal mendapatkan banyak spotlight dari media-media terkemuka seperti The Jakarta Post sampai Wastedrockers. Dan tidak hanya mendapatkan spotlight dari banya media, album ini juga membawa impact kepada skena Orgcore Malang di kancah skena nasional. Banyak orang yang mulai notice dengan band-band Malang lainnya seperti Whitenoir, Write The Future, Eitherway, Enamore, Much, dan banyak lagi.
Tidak hanya menaruh influence terhadap spotlight skena lokal, kami nilai full length “Growing Up Late” sendiri menghantarkan band ini beranjak untuk bermain di gig-gig yang lebih besar. Bahkan band ini pada hari-hari kemudian sempat bermain di ajang bergengsi sekelas We The Fest impact dari besarnya “Growing Up Late”.
Malang telah berkembang dan dikenal sebagai “New Mecca of Emotive Indie Punk Music” dan hal ini cukup mencengangkan juga dimana biasanya kota kapital seperti Jakarta memainkan peranan katalis bagi tiap tren musik yang ada.
Di antara absensitas ini, muncul sebuah band yang kelak menjadi role model banyak band setelahnya bernama Eleventwelfth. Tak ada yang menyangka bahwa lagu seperti “Your Head As My Favorite Bookstore” bisa menjadi anthem sejuta pemuda yang resah.
Dan memang sebelum dirilisnya self-titled EP mereka di tahun 2017, mimin sebenarnya sudah bisa melihat apa yang akan grup band ini dapatkan di masa depannya.
Mini album berjudul “Eleventwelfth” ini berisikan 9 lagu secara total, walaupun berisikan 9 lagu namun length total dari semua materi di album ini yang menjadi alasan kenapa album ini sebenarnya menjadi mini album ketimbang full length.
Sebenarnya di luar anthem yang pada album ini yang berjudul “Your Head As My Favorite Bookstore”, terdapat beberapa materi yang sebenarnya menjadi alasan kuat mengapa album ini cukup influensial bagi skena Emotive Indie Punk di kawasan Jabodetabek yakni beberapa track seperti “Violent Precaution”, “With The Weight of It All”, dan “Later On” turut serta menjadi faktor keberhasilan EP ini.
Yang kami capture juga mengapa album ini cukup mencuri perhatian banyak orang adalah kualitas songwriting dari Rona dan komposisi dipresentasikan band ini dimana memang mendifinisikan tentang “bagaimana membuat sebuah lagu Twinkle Emo yang tidak overated namun well heard”.
Saya kira kemampuan Eleventwelfth untuk menempatkan setiap komposisi dengan pas di setiap lagu mereka merupakan faktor yang menjadi keberhasilan dari segi songwriting band ini di debut EP mereka. Tidak hanya itu, promosi dalam bentuk music video dari single “Your Head As My Favorite Bookstore” memegang peranan penting dalam keberhasilan EP ini.
Di samping charmingnya dari model video klip ini, konsep dari music video ini nampaknya cukup menyentil sisi sentimentil banyak pihak hingga akhirnya Eleventwelfth muncul ke permukaan skena nasional.
Mini album ini secara inisial dirilis oleh label kenamaan berbasis Jakarta Selatan bernama Six Thirty Recording dan di kemudian hari EP ini dirilis oleh label Emo/Punk/Indie asal Tokyo bernama Waterslide Records.
Mini album ini sungguh besar impact-nya hingga media seperti Wastedrockers sendiri menyebutkan bahwa Eleventwelfth merupakan jawaban atas eksistensi skena Emo di skena nasional. Dengan mengambil perbandingan terhadap suksesnya “Growing Up Late” dari Beeswax.
Pengaruh dari album ini kami kira signifikan bagi skena Emotive Indie Punk Jabodetabek karena pasca perilisan album ini cukup banyak bermunculan band yang ter-attached terhadap pergerakan Emotive Indie Punk seperti Knowhere, Ache, ataupun Cubfires.
Dua band ini, Beeswax dan Eleventwelfth, yang kami jadikan sebagai 2 milestone dari era keemasan skena Indie Punk di tahun 2010-an.
Mungkin sedikit disclaimer bahwa sebenarnya di pertengahan 2010an sendiri tidak hanya dua band yang benar-benar muncul di skena, tetapi kami lihat juga banyak muncul nama-nama yang mengusung genre di bendera Indie Punk di kota-kota lain. Mari kita sebut band seperti Fernie Sue yang merilis EP perdana mereka di tahun 2016 berjudul “Detached” ataupun Vvachri yang merilis LP mereka di tahun 2017 yang berjudul “Kitten Empire”.
Lalu di kota seperti Bandung kita mengenal kelahiran dari moniker Post Hardcore dari gitaris A.L.I.C.E. bernama Collapse yang menelurkan EP perdananya di tahun 2016 berjudul “Grief” di bawah bendera Royal Yawns.
Collapse sendiri merona di skena dengan menyemburkan aroma Post Hardcore 2000-an ala Rival Schools sampai Title Fight (era Floral Green). Bahkan sampai banyak yang mengintepretasikan Collapse sendiri sebagai band Shoegaze sampai detik ini 😉
Tidak hanya Bandung dan Collapse saja yang memang memiliki “Golden Times” di pertengahan 2010-an, tidak lupa kami menyebutkan sebuah band asal Surabaya bernama Timeless. Timeless sendiri muncul di skena pada tahun 2014 via EP perdana mereka yang berjudul “We Believe For What We Do”.
Timeless sendiri merupakan sebuah band dengan menawarkan musik yang fresh bagi skena lokal dimana band ini merujuk kepada sound Indie Punk yang leaning kepada sound Heartland Rock yang bisa anda dengar di elemen musik band seperti The Gaslight Anthem, Cheap Girls, sampai The Menzingers (Era On The Impossible Past dan setelahnya).
The Now Generations
Beberapa band yang pernah aktif di pertengahan 2010-an memang sudah non-aktif, tetapi dekadek 2010 akhir sampai saat ini merupakan seseuatu yang sebenarnya menyenangkan untuk skena lokal.
Mengapa mimin mengatakan merupakan sesuatu yang menyenangkan? Hal ini kami asumsikan bahwa pada waktu tersebut justru skena Indie Punk sedang flourishing dari segi generasi ataupun musik yang tiap musisinya tampilkan.
Beberapa talenta muncul dari kota kapital ataupun beberapa daerah yang sebenarnya tidak kami sangka akan muncul. Salah satunya adalah Beijing Connection dari Makassar.
Asli gak sangka kalau diaspora dari subgenre Indie Punk sendiri akan sampe ke beberapa region di Indonesia Timur. Beijing Connection sendiri merupakan sebuah band yang mencoba merepresentasikan sound Emotive Indie Rock yang dibalut dengan vibe Math Rock ala Toe pada guitarwork-nya.
Selama ini, Beijing Connection telah merilis 3 buah single antara “We Should’ve Left Our Hearts In The South Where They First Met” dan “Nowadays, Burger Is Not My Favorite Food” pada tahun 2021, mini album “You are the Best Thing To Come Out of The End of The World For Me” pada tahun 2022, dan single “We Aren’t Meant To Be Together Because You Want A Peace And I Want A Noise” pada tahun 2023.
Selanjutnya ada Decemberism dan Brunobauer dari Jawa Timur. Banyak yang berpendapat bahwa 2 band dari Malang yakni Write The Future dan Beeswax merupakan 2 band katalis bagi pergerakan skena Indie Punk di Timur Jawa.
Dan memang hal dikomunikasikan dengan baik antar generasi di dalam komunitas tersebut dan hal ini dapat kami lihat dari potensi dua band yang kami sebutkan, Brunobauer dan Decemberism. Dua band tersebut merupakan 2 buah roster dari label Emotive/Indie Punk asal Sidoarjo bernama Loverman Records.
Decemberism sendiri merupakan sebuah band asal Sidoarjo yang dibentuk atas kecintaan tiap entitas di dalamnya terhadap Emo, Wota Culture, dan budaya Hardcore Punk. Via single terakhir mereka, “City Hall/Countless Time”, band ini sedikit mengingatkan saya akan sound-sound Emotive Indie Punk West Coast seperti Mildura sampai I’m Glad It’s You.
Setelah Decemberism, lalu ada Brunobauer juga yang merupakan sebuah band yang mengejutkan kami semua dengan kabar dari band ini yang berhasil menjadi line-up di Pesta Pora kemarin. Brunobauer sendiri dibentuk oleh beberapa individu yang sebenarnya sudah malang melintang di skena Jawa Timur dan pada tahun ini band ini merilis sebuah EP berjudul “A View From Inner Circle”.
Mengejutkan dan juga terharu sekali karena pada akhirnya terdapat band yang benar-benar bisa mempresentasikan sound West Coast Indie Punk di skena lokal dan band yang menjawab challange tersebut adalah Brunobauer. Walaupun VLHS telah tutup dan “Worstward, Ho!” belum menjadi kitab suci di Indie Punk, tetapi mimin sendiri menaruh harapan yang besar dari Brunobauer untuk “Carrying The Torch” dari skena Jatim Power.
Hal yang menyenangkan lainnya juga terjadi kepada skena kecil seperti Magelang dimana skena ini melahirkan Tossing Seed. Damn! I can not say any further beautiful words for this great band! Tossing Seed berhasil memukau skena lokal dengan EP yang dirilis tahun 2023 ini berjudul “When You Come Around”.
Tossing Seed mempresentasikan sound Indie Pop yang membawa nadi semangat Punk Rock ke dalam musik mereka. Dan band ini sedikit mengingatkan akan semangat band-band seperti Colour Me Wednesday ataupun Charmpit. Dan tidak hanya Tossing Seed saja, skena Luar Jakarta-Bandung banyak dihiasi oleh talenta baru yang menyenangkan seperti LoOn dan Mmmmarkos!
Dan apabila anda sedang ‘looking forward’ tentang sound Indie Punk Emotive sampai UK-Sounded, mungkin mimin akan merekomendasikan 2 label asal Jawa Timur ini : Paska Records dan Loverman Records.
Tidak berhenti di situ saja, di Malang sendiri kami lihat mengalami pembaharuan dari para eksponen Indie Punk. Beberapa nama seperti GREY, Girl And Her Bad Mood, dan Hallway. muncul ke permukaan skena lokal.
Mungkin salah satu yang benar-benar kami adore dari Malang saat ini adalah Girl And Her Bad Mood. Gak sangka sebenarnya apa yang Turnover lakukan di “Peripheral Vision” sebenarnya akan melahirkan ‘sekte’-nya tersendiri.
Kami sebut salah satunya adalah Girl And Her Bad Mood dan yang menjadi menarik dari band asal Malang ini adalah karakter vokal yang ditampilkan di band ini yang benar-benar memberikan warna tersendiri di dalam musik mereka.
Sejauh ini, Girl And Her Bad Mood telah merilis 5 Single, dan satu buah EP berjudul “Bluest Year” di bawah bendera Haum Entertainment. Girl And Her Bad Mood sendiri menampilkan warna musik Emotive Indie Punk yang menggunakan platform Indie Pop sebagai ornamen penghias musik mereka. They might be the best Turnover worshipper band you’ve ever heard!
Juga menyebrang sedikit ke pulau Dewata dimana pada beberapa tahun ke belakang juga menghasilkan beberapa band yang notable di skena Indie Punk lokal seperti Milledenials, Settle, hingga Sugar Thrills.
Nama seperti Milledenials sendiri merupakan nama yang sebenarnya disebut oleh banyak ketika berbicara tentang term Indie Punk di pulau Dewata. Band yang unisex dan juga termasuk band yang cukup rajin secara etos kerja.
Milledenials telah merilis 4 buah single, 2 buah split, dan 2 EP dalam rentang waktu 2020 hingga 2023. Sebenarnya itu merupakan hitungan yang cukup intens bagi band yang baru hidup 3 tahun.
Secara musikalitas, Milledenials sendiri merupakan sebuah band Emotive yang dipenuhi dengan layer guitar Shoegaze dan diperkaya dengan mentalitas Hardcore Punk di dalam musik mereka. Dan Milledenials sendiri kami nilai sebagai sebuah band yang menjadi “Face” bagi skena 5th Wave Emo dengan semua paket etos kerja dan attitude-nya.
Chapter IV : The Identity
Political Views, Working Ethics, & The Culture
Berbicara mengenai subkultur Indie Punk, baik dari sisi musikalitas ataupun political view-nya itu sendiri, sebenarnya memang kita tidak bisa memisahkannya dengan peran identitas yang dibawa oleh subkultur Indie Punk dan Post Punk yang menjadi “Parent Tree” dari subkultur itu sendiri.
Dimana kalau merunut dari subkultur induknya itu sendiri, Indie Rock, merupakan sebuah subkultur yang secara political view memberikan wacana tidak terbatas, baik itu berbicara musikalitas ataupun political view yang di-embrace oleh entitasnya itu sendiri.
Dimana dari Indie Rock itu sendiri memang embracing gender equality, non-rockstar attitude, sampai kepada perlawanan terhadap isu maskulinitas.
Musik dari Indie Punk sendiri menurut mimin mewakilkan dari apa yang mereka embrace dari value mereka terhadap skena.
Dan hal ini emang gak jauh berbeda dari apa yang ditawarkan dari subkultur Indie Rock itu sendiri.
Terlihat dari eksponen di skena Indie Punk itu sendiri yang unisex dan juga lebat sekali dalam meneriakan perlawanan terhadap value misoginis dan patriarkis, entah itu isu yang ada di dalam skena underground itu sendiri ataupun khalayak secara luas.
Selain itu juga etos kerja yang dilakukan oleh banyak pelaku di skena ini juga masih secara kental embracing DIY working ethics.
Bahkan band sebesar Lemuria, di era mereka sign dengan Bridge 9, masih mem-booking tur mereka dengan tangan mereka sendiri.
Walaupun band dan musisi sebesar Jeff Rosenstock, Pup, Mom Jeans, ataupun Joyce Manor merupakan band kaliber besar namun banyak pengikut dari band ini masih stick up to the band karena apa yang mereka embrace pada etos kerja meraka di masa lalu masih mereka terapkan ketika musisi-musisi ini menjadi pemain besar di industri musik.
Jeff Rosenstock masih merilis album-albumnya di Quote Unquote Records dan juga record label berbasis donasinya juga masih beroperasi sampai tidak lupa juga band seperti Mom Jeans ataupun Pup yang masih attaching band lebih baru untuk hitchicking di tur mereka.
“This is more about the marriage of two camps that are normally rather divided by now, the alternative/indie vs the punk/hardcore spheres, but technically you can literally trace all those genres back to garage rock/punk rock/art punk which is why it’s confusing.”
DIYDylan on rateyourmusic.com
Berbasis dari pernyataan tersebut sebenarnya apa yang bisa kita simpulkan dari Indie Punk itu sendiri adalah Indie Punk sendiri sebenarnya merupakan sebuah bentuk daur ulang ataupun modifikasi dari musik Indie Rock tetapi banyak eksponen di dalamnya merupakan pelaku di skena Hardcore/Punk hingga working ethics hingga political view yang ada di skena Hardcore/Punk tersebut turut teradopsi ke dalam new form of Indie Rock ini.
Walaupun hal ini terdengar cukup berlebihan, namun secara mudahnya Indie Punk merupakan sebuah sisi pemberontakan dari Indie Rock dalam merespon apa yang terjadi di skena tersebut di dekade 2000-an atas kooptasi industri pada skena.
Dan gak akan menampik juga, bahwasanya kemungkinan dicotomy juga akan terjadi ke depannya kepada skena Indie Punk. Balik lagi karena skena ini bukan merupakan sesuatu yang statis ya! Kultur itu akan selalu progresif, khususnya youth culture secara spesifik.
Musical & Sound Aspects
Identitas musik Indie Punk sebenarnya tidak merajuk jauh seperti musik Indie Rock pada umumnya.
Kalau bisa digambarkan secara general musik Indie Punk itu merupakan musik dengan sound guitar yang condong lebih clean secara tone, drum yang terdengar cukup luas eksplorasinya, dan juga instrumentasi yang terdengar jauh lebih luas eksplorasinya apabila kita bandingkan dengan beberapa musik seperti Pop Punk ataupun Melodic Hardcore.
Banyak dari identitas musikalitas dari band Indie Punk secara umum mengadopsi songwriting dari band-band seperti Superchunk, Guided By Voices, Pavement, hingga The Weakerthans.
Dalam press rilisnya sendiri bahkan Lemuria mengakui bahwa mereka merupakan Superchunk-inspired band walaupun secara musikalitas sendiri band ini memang beyond dari Superchunk.
Di beberapa band ataupun musisi, hal formulasi general yang disebutkan pada paragraf sebelumnya sebenarnya tidak menjadi pakem yang harus dijalani karena band seperti Hard Girls mempresentasikan guitar output yang fuzzy dan riff-riff gitar yang cukup Krautrock.
Identitas musik dan sound dari Indie Punk sendiri memang cukup luas, terutama dari apa yang dilakukan oleh Jeff Rosenstock karena memang song structure yang dihasilkan beliau cukup infinity secara value.
Anda mungkin akan gila sendiri ketika mengetahui terdapat unsur Ska sampai Powerpop dari beberapa musik yang beliau hasilkan di tiap katalog rekamannya.
Namun balik lagi, value “kebebasan berekspresi” yang ditaawarkan skena ini justru menghasilkan sebuah charming point-nya tersendiri.
Ketika berbicara di subgenre Emotive Indie Punk mungkin hal yang secara masif di-embrace sekarang adalah style guitar Twinkle Emo. Dan memang apa yang diemulasikan oleh 2 legenda seperti Algernon Cadwallader dan Snowing memilik andil besar dalam pembentukan skena Emotive Indie Punk.
Dua band tersebut memang secara historis memang telah “change the game” dengan mengkonversi guitar work yang telah dilakukan oleh American Football ke dalam wacana songwriting US Sound Indie Rock yang lebih sloppy dan upbeat.
Setelah itupun, Twinkle Emo dengan ketukan yang lebih upbeat dan juga lirik less-serious diadopsi banyak generasi setelahnya setelah mencetak nama-nama notable seperti Marietta, Glocca Morra, sports.
Kami akui sampai detik ini bahwa Twinkle Sound ini memang merupakan sebuah subgenre di bawah roof Indie Punk dengan eksponen terbesar secara kuantitas.
Saking gedenya skena ini, sampe bisa digolongin banget mana twinkle yang asal keliatan skillful doang dengan mana yang bener-bener juga memperhatikan estetika komposisi musiknya.
Masih berbicara di dalam lanskap Emotive Indie Punk, tidak lupa juga di sini terdapat beberapa karakter dari subgenre yang memang guitarwork-nya fully distorted dan emang depending sama filter dari guitar work-nya.
Salah satunya adalah Post Hardcore seperti yang dipresentasikan oleh musisi-musisi seperti Title Fight, Balance & Composure, sampai Basement. Beberapa band tersebut kami merupaakan band yang berangkat dari skena melodic hardcore dan memiliki ‘florishing point’ pada definisi post hardcore yang mereka terapkan di dekade 2010-an.
Lalu juga ada subgenre Emogaze dan memang dari namanya sendiri udah gak bisa lepas dari guitar wall yang tebal nan berisik. Jujur apa yang dilakukan oleh Pity Sex tidak akan sama di kuping saya sampai detik ini ketika konteksnya dilakukan oleh band lain. Tapi mudah-mudahan ada sih!
Dalam konteks lain, terdapat beberapa band yang terdengar cukup Heartland dengan menyebutkan beberapa band yang terkoneksi dengan band The Replacements seperti Cheap Girls, Big Nothing, The Menzingers, hingga Spannish Love Songs.
Beberapa musisi ini dipercaya juga dianugrahi sebuah ‘blessing’ dari musisi-musisi seperti Tom Petty, Bob Seeger, hingga John Mellencamp.
Tetapi benang merah antara Heartland dan Indie Punk memang tertera dari DNA musik dari The Replacements sih kalau menurut mimin. Bahkan term ini ada yang menyebutkan sebagai “Springsteencore”.
Tidak hanya berhenti di spektrum Heartland saja, ternyata asimilasi musik juga terjadi pada musik Americana yang diadopsi oleh para eksponen Indie Punk. Mungkin beberapa contoh yang kami dapat berikan adalah Pinegrove dan Slaughter Beach, Dog.
Tidak dapat kami pungkiri bahwa Pinegrove merupakan sebuah band yang carving bahwa “Elemen Emotive dapat menempel dengan pas dengan musik Americana”. Ataupun beberapa katalog rekaman dari Slaughter Beach, Dog memberikan ‘revival’ tersendiri dari elemen musik Americana untuk dikonsumsi oleh generasi setelahnya.
Selanjutnya di sisi West Coast Indie Punk pun memang memiliki karakteristik tersendiri dimana elemen Emotive Indie Punk yang mereka embrace terasimilasi dengan kualitas elemen Power Pop. Hal ini dapat terdengar secara jelas di band-band seperti Joyce Manor ataupun Warm Thoughts.
Sisi unik Indie Punk juga dapat ditemukan pada Cayetana. Kami tidak mengira bahwa apa yang dilakukan Cayetana dengan musiknya akan menjadi kultus sendiri.
Cayetana sendiri merupakan band yang menggabungkan sound stripping down indie rock sound ala Guided By Voices, vokal soulful ala Janis Joplin, hingga menjadikan bass guitar mereka sebagai harmonical dan melody part. YES YANG JADI MELODINYA TUH RIFF BASS GUITAR-NYA!
Ke depannya, formulasi ini kemudian diamini oleh beberapa band seperti The Lazy Susans ataupun Camp Cope.
Di beberapa eksponen dan belahan bumi lain seperti UK memang identitas Indie Pop hingga turunannya diadopsi ke dalam subkultur Indie Punk. Beberapa eksponen ini memang menaruh sense of Indie Pop dari band-band Pop seperti Tullycraft hingga Language of Flowers ke dalam dialektika Indie Punk mereka. Band-band tersebut adalah Wolf Girl, Colour Me Wednesday, ataupun Charmpit.
Dan di daratan United States juga, tercatat beberapa band yang memang mengadopsi kepolosan sound Twee dan etos kerja yang diemban yang pasti. Kami sebutkan band-band seperti Nice Try, Jawbreaker Reunion, ataupun Benny The Jet Rodriguez, yang kami catat merupakan band-band yang benar-benar ‘carry the torch’ sound twee dari K Records di akhir 80-an.
Mimin yakin ke depannya bahwa cakupan sound dari Indie Punk itu sendiri akan jauh lebih luas dari apa yang mungkin artikel ini coba berikan skup. Dan minta maaf juga kalau memang ada beberapa yang kelewat 😉
Referensi artikel
https://www.jerseybeat.com/vlhs.html
https://hugoreyes-36858.medium.com/2013-punk-retrospective-but-mostly-punknews-shit-97be2cd72d4b
https://hugoreyes-36858.medium.com/tracing-the-roots-of-indie-punk-6a36e8e0aa10
https://www.aplan.fyi/emo-revival/
https://rateyourmusic.com/list/TheScientist/rym-ultimate-box-set-bubblegrunge/