“Karena #postpunkbantupopstpunk, di Malang 80s is forever.”
Post punk di jawa timur mungkin skena yang dengan regenerasi yang sedikit lambat, dan baru di era 2020an ini satu kota ada dua sampai tiga band. Biasanya hanya satu atau dua. Dalam rangka menyambut tur dari band Jakarta, Temarram, 1001 Malam menyelenggarakan Post Punk Ceremony (Malam Ke-V).
Menampilkan Closure, Celestial Carnage, re:NAN, Mmmarkos, Pillhs Castle, dan Temarram. Gig ini bisa dibilang representasi skena post-punk/new wave era 2010an akhir sampai 2020an terkini di Jawa Timur. Belum pernah dalam satu gig berisi band post punk semua di Jawa Timur ini.
Bertempat di Guttast Coffeeshop, Jl. Gede No.12, di sekitar sentra kuliner Jl. Dempo, Post Punk Ceremony dibuka oleh Closure, dengan nomor andalan Warehouse dan Pawn, mereka menyajikan suasana ceria dahulu sebelum menuju nomor-nomor muram mereka.
Formasi Dheka (vocal), Afif (guitar), Sabiella (guitar 2), Axel (bass), Ikhsan “Bitiing” (drum) ada sedikit perubahan dengan Afif digantikan Keling dari re:NAN. Penonton baru mengisi separuh venue kecil nan intim ini. “Warehouse” dan “Pawn” yang ringan ini terbukti mampu memanaskan venue.
Diteruskan lagu “Paradigm” yang diambil dari album Innocence yang merupakan salah satu lagu muram mereka. Mereka kembali ke lagu era EP Journey dengan “Slow Drive” dan dilanjutkan dengan “Post Partum” yang sedikit bernuansa aussie post-punk.
Untuk dua lagu terakhir, mereka membawakan “Harsh World” dan “Travelling Man”. “Harsh World” sendiri merupakan single terbaru mereka yang menggambarkan carut marutnya dunia yang tak akan menumbangkan spirit manusia.
Lagu “Travelling Man” yang bertema perjalanan jauh dari masa lalu yang pedih, diambil dari album Innocence. Seperti biasa, Travelling Man yang mampu menggabungkan nuansa post punk dreamy ala The Chameleons, dan chord ala Peterpan menjadi penutup yang ciamik sesi mereka.
Dilanjutkan Celestial Carnage atau Hilmo Thioherdiza, unit EBM/eksperimental dari Kota Batu. Tidak ada setlist yang jelas kali ini. Pula, penampilannya yang eksperimental memberikan vibe “YTTA” bagi penikmat dark EBM dan Post-Industrial macam Test Dept., Von Thronstahl, Neon Rain atau Ghost of Breslau.
Dilanjut sesi selanjutnya ada Pillhs Castle yang terdiri dari Torkis Waladan Lubis (Gitar), Nando Septian (Vokal), Tama Ilyas (Gitar), Willy Akbar (Bass), dan Dheka Yusuf (Drum) kini berganti additional-additional member seperti Radityo (gitar) dari Jamal, Eki (bass) dan Leo (drum) dari ISIL.
Intro yang muram sudah menjadi trademark Pillhs Castle yang kemudian lanjut ke lagu “Castle of Sorrow”, sebuah lagu baru yang belum pernah direkam yang bernuansa sedikit aussie ala The Birthday Party maupun derivatifnya di Inggris seperti Inca Babies.
Berlanjut ke “Repeat The Death” yang dirilis 2023 lalu yang bernuansa bukan lagi muram tapi kelam. Bassline lagu ini memang memorable dan driving sekali. Kembali ke lagu yang belum direkam yaitu “Always”, kemudian berlanjut ke “Moment” yang menjadi single di 2022.
Akhirnya ditutuplah sesi Pillhs Castle dengan lagu “No” yang menjadi anthem mereka walaupun belum pernah direkam.
Tiba giliran sang guest musician, Temarram, mereka ternyata sebuah trio dari jakarta yang beranggotakan Sherie Redjo (synth, midi controller,vocal), M. A Tanthowi (bass, vocal), dan Regga Prakarso (gitar, vocal).
Mereka membawakan synth/drum machine based post-punk yang sedikit mengingatkan saya pada Boy Harsher, Echoberyl dan Lebanon Hanover. Unit ini juga salah satu dari sekian banyak band-band post punk di Indonesia yang berani menggunakan bahasa Indonesia dan tersampaikan dengan rapi.
Set mereka dimulai dari album Montase dengan lagu “Redum” yang merupakan instrumental yang menjadi intro di sesi malam itu walaupun di album malah lagu ketiga.
Akhirnya mereka pun melanjutkan “Samar Memudar” dari EP Selubung Abadi, bassline ala Peter Hook yang juga masih disalut appergiated synth bass dan synth pad yang mendominasi lagu ini mengiringi dengan rapi vokal Sherie yang effortless nan haunting.
Terlihat di tengah-tengah crowd, sang illustrator dari EP ini, Juniawan Bagaskara juga ikut menikmati sesi band ini. Lagu selanjutnya yaitu “Montase” yang di album lagu pertama menjadi lagu ketiga.
Bisa dibilang sampai lagu “Montase” ini, Temarram lebih terdengar bernuansa cold wave yang dingin namun danceable. Setelah “Montase”, lagu “Dua Empat” meluncur yang uniknya bersesuaian dengan numerik tanggal gig tersebut, 24-02-2024.
Lagu “Dua Empat” juga merupakan single kedua mereka. Sesi mereka ditutup 3 lagu dari EP Selubung Abadi yaitu “Selubung Abadi”, “Penggal” dan “Fragmen”.
EP yang dimixing-mastering oleh salah satu member Jesslla, Jesslyn Juniata ini mengambil tema-tema tentang pemakaman dan betapa terlupakannya kita setelah pemakaman itu berlangsung, dunia tetap berjalan tanpa kita.
Walaupun lagu-lagu mereka cenderung mid tempo dan dingin, beat pattern yang mereka sajikan sangat mampu menggoyang penonton.
Tiba giliran musisi kota tetangga, MMMarkos! Dari Surabaya yang lagi-lagi trio. Trio ini terdiri dari Angelina Paskalia (vokal), Fadhullah Hamid (gitar), dan Ivan Reza (bass), mereka menawarkan ramuan synth-pop dan post punk dingin dan manis ala The Drums, Hazel English yang bertempo sedang.
MMMarkos memanfaatkan dengan baik driving drum machine diiringi oleh bassline yang sama drivingnya kemudian dipimpin oleh vokal yang santai dan gitar yang berisi melodi saja. Penampilan MMMarkos! Yang dingin namun manis menjadi sebuah penyegaran dari kelam dan dinginnya Temarram.
MMMarkos mengawali sesi mereka dengan “Delirium” dan “FNL” dari EP Preliminer yang mampu menggoyang penonton. Kemudian kembali ke maxi single Live in My Head, yaitu “Pleasure” yang merdu sekali dan nikmat seperti judulnya.
Kemudian kembali ke EP Preliminer dengan “Ivan Song”, yang sedikit jangly dan melodi gitarnya pun secara tepat guna menangkap nuansa 80an. Kembali ke Live in My Head, kali ini hadir “Midnight Thought” yang juga diremaster untuk EP Preliminer.
Kalau dibilang monoton, bisa dibilang monotonitas MMMarkos ini bukan hal negatif, namun seperti mengkonsumsi satu snack favorit dengan resep yang pakem yang adiktif dan manis.
Mereka pun menyelingi sesi mereka dengan cover The Cure yaitu anthem sejuta umat post-punk, “Boys Don’t Cry” yang sukses mendulang koor meriah dari penonton. Kemudian sejenak mereka membawakan lagu sendiri yaitu Motion, tak hanya sampai The Cure, The Upstairs pun didapuk sebagai penutup sesi mereka dengan lagu “Matraman”.
Akhirnya Post Punk Ceremony ditutup oleh penampilan dari re:NAN yang kini menjelma menjadi band new wave/post punk yang sudah menguasai seluk beluk synthesizer ala Depeche Mode, Goodnight Electric, Molchat Doma dan New Order.
Mereka membawakan lagu-lagu dari EP Leaving Depression dan teaser lagu baru untuk EP mereka mendatang. Lagu “Did U?” Menawarkan nuansa kalem sebagai lagu pembuka. Dilanjut “She’s Not Perfect” yang sajikan EBM dan nuansa stalker untuk sebuah lagu yang bercerita tentang “balikan ke mantan”.
Band re:NAN kembali ke lagu ceria “Smile” yang ternyata menceritakan optimisme menghadapi pekerjaan dan kehidupan yang penuh tekanan. Semua pun menyambut chorus “Show Me You Smile” dengan khidmat.
Berlanjut ke lagu baru yaitu “After Sunday” yang direncanakan rilis pada Mei 2024. Seakan menjadi bridging yang tepat dari hari kerja di “Smile” ke akhir pekan di lagu “After Sunday”. Disini sang pacar dan model dari Leave, S. Bintari ikut bergabung bernyanyi bersama re:NAN.
Setelah “After Sunday”, re:NAN kembali ke setlist Leaving Depression dengan Grateful, yang sedikit mengingatkan saya pada New Order dan Goodnight Electric.
Lagu bertema rasa syukur ini menjadi soundtrack untuk malam itu yang diiringi hujan gerimis rintik-rintik yang konon menjadi pertanda rejeki turun. Berlanjut ke cover song lagi kali ini Transmission dari Joy Division yang didampingi oleh Dheka vokalis Closure.
Koor berulang dari “dance-dance to the radio” seakan mampu menghadirkan spirit Ian Curtis di tengah-tengah gig. Set re”NAN ditutup oleh lagu “Leave” yang sangat mudah untuk dinyanyikan karena hanya terdiri dari 4 baris yang berulang-ulang.
Overall acara berjalan sangat lancar dan meriah walaupun di dalam ruang kecil Guttast, namun semua orang itu menikmati dan mampu menciptakan suasana intim dengan bergoyang ke nada-nada 80an yang ternyata mendulang nostalgia bagi generasi yang tidak mengalaminya. Jargon Postpunk Bantu Postpunk yang sedikit berkelakar namun penuh aksi nyata membuat skena post punk di Malang menjadi solid dengan saling substitusi pemain-pemain yang berhalangan. Pula jarkom antar band menjadi lancar di media sosial karena jargon #postpunkbantupostpunk. Karena #postpunkbantupopstpunk di Malang 80s is forever.