Dari sekian lamanya menjadi dedicated fan, akhirnya tiba dimana saya menulis review restrospektif dari Lifetime. Sebenarnya apa yang terjadi dengan saya dan Lifetime merupakan sebuah chemistry yang terjadi secara alami dan simpel.
Untuk hal pertama yang disebutkan alami karena apa yang band ini lakukan dalam etos kerjanya selama active carreer span-nya merupakan hal yang, saya percaya, sincere hingga menghadirkan interaksi yang organik bagi para pendengar band ini.
Pun sang penulis mengenal band ini memang secara organik ketika nama mereka tersebut di sebuah forum musik bernama Kaskus. Saya nama mereka terterapun menunjukan sebuah dedikasi band terhadap skena hardcore/punk dengan mengusung etos DIY dan labour of love dalam musik mereka.
Hal yang kedua saya sebutkan sebelumnya adalah simpel. Untuk mengenal dan menjadi devoted listener memang sesimpel click-in dengan lagu-lagu dari satu band atau musisi. Dan ini terjadi pada saya dan Lifetime.
Secara materi, Lifetime bukanlah band yang senang bereksperimentasi dengan materi-materinya. Saya rasa mereka merupakan sekumpulan hardcore kids yang dengan simpel ingin menciptakan lagu-lagu hardcore punk yang melodius dan bagus di saat bersamaan.
Lifetime memiliki itu semua dan saya kira hal ini dapat kita look-up dengan katalog full length band ini yang berjudul “Hello Bastards”. Saya menyadari mungkin beberapa dari anda akan bertanya-tanya kenapa tidak mencoba untuk me-review “Jersey’s Best Dancers”?
Walaupun memang secara materi, Lifetime telah menaruh komposisi yang cukup melodius di dalam musik mereka pada album “Background”, namun apa yang mimin rasakan adalah “Background” merupakan album yang belum menemukan pakem identitas dari Lifetime itu sendiri.
Kalau secara detil, malah saya bisa katakan album ini masih terasa banget kalau musiknya Lifetime masih hook up banget sama band-band melodic hardcore yang tumbuh di awal dekade 90-an seperti Shelter.
Dan album “Hello Bastards” kami nilai menandai sebuah stapple stone tersendiri di dalam progresi musik Lifetime. Walaupun memang banyak dari kritikus yang memberikan statement bahwa “Jersey’s Best Dancers” merupakan sebuah titik kulminasi dari songwriting Lifetime, namun kami nilai “Helo Bastards” merupakan album yang memiliki daya pikatnya tersendiri.
Album “Hello Bastards” merupakan sebuah titik dimana Lifetime menemukan identitas baru di dalam musik mereka dan juga bisa didengar di sini sebuah mood songwriting yang cukup menggebu-gebu dan mungkin tidak dapat anda temuka di “Jersey’s Best Dancers”.
Kalau kami dapat analogikan, album “Hello Bastards” merupakan album dimana ketika seorang anak baru bisa jalan dan cukup exciting ketika melihat dirinya sendiri memiliki keahlian baru.
Pada album “Hello Bastards”, Lifetime terdengar jauh lebih melodius dan juga progressi chord dan melodi vokal pada album ini terdengar sungguh harmonis, baik dan segar.
Kita tahu bahwa di dekade ini, selain banyaknya band hardcore yang mengalami metamorfosa dan juga mengalami “Post Moment”-nya sendiri. Lifetime yang sejatinya merupakan band yang stand up dari skena hardcore dan pada album “Hello Bastards” apa yang mereka lakukan adalah mempresentasikan hardcore dengan point of view yang cukup berbeda.
Dengan detil bahwa di antara komposisi musik melodic hardcore yang disematkan pada “Hello Bastards”, terdapat beberapa riff gitar yang secara gamblang terpengaruh dengan sound-sound Emocore yang berkembang di dekade yang sama.
Juga jangan lupakan bahwa album “Diary” dari Sunny Day Real Estate dirilis satu tahun sebelum “Hello Bastards” dilepas ke permukaan. Dan dengan hal tersebut, Lifetime menempatkan sebuah preposisi bagi band ini untuk memulai sebuah subgenre baru yang dikenal oleh para jurnalis skena bernama “Emotive Melodic Hardcore”.
Album “Hello Bastards” dimulai dengan tembang cepat ala hardcore punk berjudul “Daneursym” dan jujur kepala belum melihat sesuatu yang baru setelah “Backgdround” dari “Daneursym”.
Atmosfirpun secara simultan berubah ketika track 2 meluncur ke kuping saya berjudul “Rodeo Clown”. Lead guitar Den Yemin pada lagu ini memang memegang peranan penting! Ini merupakan riff gitar yang baru banget dan tidak ditampilkan di “Background”.
Tidak hanya itu, melodi vocal pada “Rodeo Clown” juga merupakan another heavy punch material yang ditampilkan oleh Lifetime pada album ini. Bagi banyak broken heart hardcore kid saya jamin “Rodeo Clown” merupakan sebuah anthem tersendiri.
Gak salah kan kalau akhirnya seorang hardcore kid menulis sebuah lagu jatuh cinta? Lifetime just did it right! Hal yang cukup menggelitik adalah ketika Arie Katz meneriakan “And I was calling your name but the band played too loud”.
Nampak di sini bahwa terdapat seorang hardcore kid yang akhir mengalami crush namun karena ruangan terlalu berisik hingga sang hardcore kid diacuhkan oleh wanita crush tersebut :)) Yes di momen itu nampak pria tersebut terlihat seperti badut yang sedang menaiki kerbau rodeo.
Setelah track “Rodeo Clown” berlalu, selanjutnya safari album ini dilanjut dengan track yang berjudul “Anchor”. Dimulai dengan rolling snare drum yang membangun tempo upbeat pada lagu ini.
Lagu “Anchor” memang sebuah lagu yang kami nilai sebagai pemecahan kebisingan. Pada bagian verse lagu ini, Lifetime mempresentasikan sound melodic hardcore yang cepat dan melodius di saat bersamaan dan pada chorus part band ini tetap menyematkan komposisi yang melodius yang midtempo.
Ketika banyak band menaruh singalong part pada part chorus, namun pada lagu “Anchor” justru singalong part dapat kami dengarkan di part bridge-nya. Ajaib memang!
Setelah dihajar dengan track yang uplifting nan adiktif, selanjutnya terdapat sebuah track yang low tempo berjudul “I’m Not Calling You”. Asli pada track ini tuh bener-bener Lifetime memunculkan sebuah identitas musik terbaru dari “Background”.
Track “I’m Not Calling You” merupakan sebuah track yang terdengar sungguh emotive dan gilanya lagi Lifetime melakukannya dengan komposisi musik yang sangat sangat bagus. Lirik lagu ini cukup simpel yakni tentang kekurang beranian hardcore kid untuk menelpon crush-nya.
Damn! That hits so hard for a brokenheart hardcore kid. Selain riff guitar yang menambahkan atmostfir emotive pada lagu ini, juga saya tidak ingin lupa menyebutkan bahwa bass line Dave Palaitis pada lagu ini juga berperan penting dalam membangun identitas lagu ini. Justru outro-nya sih yang bikin ni lagu keren parah!
Selanjutnya track bergulir pada track keenam pada full length ini yang berjudul “Neutral Territory”. Intro track dimulai dengan dentuman bass guitar Dave Palaitis. Dan memang yang bikin spesial dari komposisi musik Lifetime pada album ini yakni banyaknya line bass yang cukup segar dan memberi nyawa pada identitas materi album ini.
Aransemen melodi vokal Arie Katz pada lagu ini juga menjadi sebuah identitas utama yang juga dieksekusi dengan baik oleh Lifetime. Track “Neutral Territory” merupakan track yang dimulai dengan ketukan drum yang midtempo namun di part tersebut saya kira melodi vokal dari Arie Katz cukup memanaskan para pendengar album ini.
Selain preching tentang kehidupan percintaan, pada track “Neutral Territory” Lifetime mencoba mendeksripsikan tekanan kehidupan sekolah yang cukup tight dengan budaya ‘bullying’. Pada lirik tersebut, Arie Katz mencoba mendengungkan tentang bagaimana ia membenci sekelompok pembuli di lingkungan sekolahnya. At this part, Lifetime would sound like a hardcore band who understand your life in detail.
Selanjutnya kita beranjak kepada sebuah track berjudul “It’s Not Funny Anymore” yang merupakan cover song dari band idola Indierock sepanjang masa, Husker Du. Secara komposisi, memang tidak ada yang spesial dari cover song ini namun kami rasa ini merupakan sebuah statement mengenai Lifetime sendiri dalam paying tribute terhadap band yang bertanggung jawab terhadap perkembangan sound band ini.
Lucunya adalah saya sendiri mengenal Husker Du dari album “Hello Bastards” dan bisa dipasktikan karena menggali fakta tentang album ini yang akhirnya mengarahkan saya kepada band SST Records tersebut. Terima kasih Lifetime!
Yak akhirnya kita sampai kepada track terakhir dalam album “Hello Bastards” yang berjudul “Ostrichsized”. Track ini dimulai dengan potongan dari percakapan film The Outsiders dan akhirnya disusul dengan raungan gitar Den Yemin yang memenuhi ruang pada intro lagu ini.
Track “Ostrichsized” merupakan track yang dibuka dengan komposisi lagu yang cukup upbeat. Dimulai dari verse part dan disusul dengan bridge part yang memiliki harmonisasi vokal yang cukup menarik pada lagu ini.
Tidak lupa pada chorus part, Arie Katz menyuguhkan sebuah ide utama yang singalongable. Lyrics line “We are all alone” beresonansi cukup kencang pada lagu ini dan memang part heavy singalong-nya di sini sih kalau mimin boleh bilang.
Secara lirikal, track “Ostrichsized” merupakan track yang bercerita tentang kesendirian dan solitarity. Dan memang pada akhirnya kesendirian terebut harus kita hadapi dan setiap orang akan menemukan coping mehacnism tersendiri dalam menghadapi kesenderian ini.
Sekali lagi band ini nampaknya membuka sebuah boundary bagi sebuah band hardcore untuk berbicara tentang hal personal dan menghancurkan stigma bahwa band hardcore merupakan band yang selalu lirik yang itu-itu aja.
Lifetime dan “Hello Bastards” memang kami nilai telah menuliskan cerita tersendiri di dalam skena hardcore. Dari milestone ini saya mengamini cukup untuk memberikan sebuah bahan bakar bagi banyak band emotive melodic hardcore yang tumbuh setelahnya.
Mari katakan band-band seperti New Found Glory, Movielife, ataupun Saves The Day, merupakan band yang ‘owe something from Lifetime’. Dan apabila evolusi sound yang ada di “Hello Bastards” terjadi, sayapun sangsi bahwa nantinya ada subgenre dari skena hardcore/punk yang memiliki pergerakan yang cukup masif. Yes Story So Far or Neckdeep fellas, I guess your band owes Lifetime so much!
Tidak kalah penting, album “Hello Bastards” dirilis di bawah bendera Jade Tree Records. Dan diakui bahwa album ini merupakan sebuah turning point tersendiri bagi label asal Delaware ini. Pasca “Hello Bastards”-pun, Jade Tree Records dalam sejarahnya mencetak banyak katalog-katalog album penting bagi skena Emo dan Orgcore.
Katakan beberapa band seperti The Promise Ring, Cap’n Jazz, Texas Is The Reason, Joan of Arc, Pedro The Lion, hingga Jets To Brazil signing dengan Jade Tree Records.
Hingga saat ini, karena semua katalog Jade Tree Records akhirnya dibeli oleh Epitaph Records maka entah itu right secara digital ataupun vinyl repress dari “Hello Bastards” dipegang oleh Epitaph Records.
Namun karena kesignifikanan nilai historis logo Jade Tree Records yang tertera di cover depan “Hello bastards”, maka logo tersebut masih tertera di pressing terbaru dari “Hello Bastards”. This should delight the fan so much sih sampe segitunya asli!
Anyway, I would like you to listen this record so much! Peace!