Kian hari, kian banyak musisi yang merilis karyanya dalam format yang beragam. Mulai dari yang terkecil seperti single sampai yang maksimal macam sebuah album penuh. Apa pun bentuk rilisannya, saya rasa itikad mereka untuk merilis karyanya ke publik adalah sebuah langkah yang mulia dan tepat apabila mereka memang ingin menorehkan eksistensinya di kancah musik. Ah berbicara soal format rilisan, saya pribadi menyukai konsep rilisan berbentuk kompilasi. Apalagi untuk genre musik favorit saya, punk rock, rilisan kompilasi seperti mempunyai kontribusi signifikannya tersendiri. Akan tetapi, kalau ditinjau ulang, rilisan kompilasi punk rock satu dekade ke belakang memang sedang agak lesu dibandingkan di era 90-an atau bahkan millennium awal. Apakah ini pertanda bahwa rilisan kompilasi tidak lagi relevan di era ini?
Secara spesifik, keberadaan rilisan kompilasi sebetulnya merupakan suatu pilar penunjang eksistensi musik punk rock dan pemerataan pengaruhnya ke berbagai penjuru wilayah, termasuk daerah-daerah di luar dunia barat. Ambil contoh kompilasi A Bunch Of Stiffs (1977) di era proto-punk rock yang mempengaruhi kemunculan kompilasi Killed By Death yang mendokumentasikan sekaligus mempromosikan berbagai macam band punk rock di era tersebut atau bahkan kompilasi American Youth Report (1982) yang menjadi salah satu artefak wajib bagi perkembangan hardcore punk di era 80-an. Belum lagi kompilasi-kompilasi rilisan Fat Wreck dan Epitaph di era 90-an yang menjadi portal pembuka preferensi publik terhadap band-band punk rock yang kelak akhirnya mulai diterima oleh pangsa industri musik di era selanjutnya.
Tak hanya di luar negeri, kompilasi punk rock (atau musik rock cutting edge pada umumnya) di Indonesia pun berperan penting di skala yang serupa. Kompilasi macam Masaindahbangetsekalipisan (1997), Bad Tunes and Some Ordinary Things (2001), bahkan New Generation Calling (2003) pun mempunyai kontribusi besar untuk perkembangan musiknya sendiri dan juga di kancah yang bersebrangan. Beberapa contoh yang saya sudah paparkan di atas menunjukkan bahwa peran sebuah kompilasi punk rock sebagai dokumentasi suratan zaman serta alur penyebaran preferensi terbilang penting.
Nah, mari kembali lagi ke pertanyaan awal dari tulisan ini: apakah sebuah kompilasi punk rock masih relevan hari ini?
Here’s my take. Saya pribadi menganggap bahwa rilisan kompilasi masih relevan untuk segmen punk rock sampai kapan pun. Oke, mungkin ada alasan klise dan personal di balik opini saya itu. Tentunya selain format rilisan kompilasi adalah moda rilisan yang ‘sangat punk rock’ karena secara ikatan narasi budaya memang memiliki sejarahnya sendiri, saya rasa elemen konsep klise punk rock itu masih ada yang bisa dipegang teguh dan masih relevan di era serba dinamis ini. Sebuah rilisan kompilasi punk rock biasanya diinisiasi atas satu dasar yang sama: kepercayaan terhadap visi bersama. Visi itu entah berupa tujuan politis atau hanya sekedar visi untuk mendapatkan kebahagiaan dari merilis sebuah karya komunal. Because that’s what punk rock is all about right? Personal choice. Mau pilihan itu konservatif atau dinamis, toh karya yang dihasilkan tetap ada dan memang dilakukan secara bersama-sama.
Di samping konsep klise di atas, saya rasa sebuah rilisan kompilasi adalah format terbaik untuk mengenalkan band-band yang kelak akan menjadi sumber keniscayaan punk rock untuk zamannya masing-masing. Seperti yang saya sebutkan di paruh awal tulisan ini, beberapa kompilasi memang menghadirkan band-band yang aktif untuk eranya masing-masing. Dan seharusnya konsep ‘regenerasi’ berbentuk sebuah rilisan kompilasi pun bisa menjadi cara yang paling efektif untuk mengoper obor relevansi dari satu titik ke titik selanjutnya.
Tapi mungkin di era alur komunikasi-hampir-bebas-akses seperti sekarang, saya pun memahami kenapa rilisan kompilasi sudah tidak terlalu diminati. Kini jalur perilisan sebuah karya musik semakin personal dengan hadirnya berbagai platform digital atau aset yang memungkinkan banyak band untuk menerbitkan musiknya sendiri tanpa harus khawatir akan tetek bengek seputar kebersamaan. Ya, skema perilisan macam itu pun dilakukan oleh banyak band punk rock hari ini. Tenang, pilihan itu bukanlah hal yang buruk. Zaman berubah, metode pun berkembang. Sekonservatifnya seorang punk rocker pasti pernahlah sekali atau dua kali terbersit sebuah pikiran untuk merubah caranya agar musiknya tetap bisa berada sesaknya awan radar musik yang kelak akan menghujani kuping para pendengar musik. Singkatnya, kemudahan merilis karya kini mengikis minat banyak musisi punk rock untuk berkolaborasi dalam skala yang besar. Just saying.
Saya tidak perlu memberikan solusi atau kesimpulan dari tulisan ini. Saya hanya ingin memberikan gambaran tentang apa yang saya lihat di kancah punk rock hari ini. Saya sendiri mencoba merilis beberapa kompilasi lewat label seenak-udel saya beberapa waktu lalu dan semua itu dilandasi oleh asas senang-senang yang disepakati oleh band-band rekanan yang saya ajak di dalamnya. Kembali lagi, sebetulnya format kompilasi ini akan tetap menyenangkan apabila jajaran musik di dalamnya dan juga keriaan yang ditimbulkan olehnya pun memberi pengaruh yang positif bagi banyak orang. Tapi yaaa, kembali lagi. Punk rock is all about what you want to do. If you’d like to keep it small, that’s totally alright. If you want to light it up a bit, it’s also totally fine.