Kehadiran unit pop rock/modern pop punk Anarcute di kancah musik nasional rasanya menjadi perbincangan yang terus bergulir bagi berbagai pendengar mau pun pelaku musik di ranahnya. Ada yang bilang bahwa kehadiran mereka bisa dianggap sebagai perpanjangan nafas pergerakan pop punk lokal di era ini. Ada pun beberapa orang yang beropini bahwa Anarcute hanyalah sebuah band aji mumpung dari para personil di dalamnya yang lebih dahulu dikenal sebagai content creator di beberapa platform media sosial digital.
Namun dari sepengamatan saya, Anarcute sepertinya tidak terlalu mempedulikan gempuran pendapat publik tersebut, lantaran mereka anteng-anteng saja terus berkarya sampai sekarang. Bahkan, mereka baru saja merilis single barunya yang bertajuk “Cintagram” tadi malam di berbagai layanan musik digital. (23/7)
Jujur, saya bukanlah penggemar berat band atau musik pop punk yang merupakan gradasi warisan dari Blink-182, Simple Plan, atau bahkan 5 Seconds Of Summer. Mau itu secara musikal atau pun citranya. Saya pun harus mengakui kalau saya pun lumayan jengah dengan berbagai band lokal yang melabeli bandnya sebagai “band pop punk” dengan segala macam gimmick-nya, tapi ketika mendengarkan musiknya malah tidak bisa menemukan benang merah pop-punk itu sendiri.
Perasaan tersebutlah yang sama saya rasakan ketika mendengarkan dua single awal Anarcute sebelum “Cintagram”. Saya merasa ada kontradiksi dengan citra dan jargon pop punk yang mereka kerap gemborkan di aset publisitasnya dengan nuansa musik dan narasi lirik yang mereka suguhkan di dua single awal tersebut. Ah, atau memang telinga dan nalar saya saja yang mungkin terlalu usang untuk bisa memahaminya.
Sama halnya dengan “Cintagram”, secara musik sepertinya Anarcute masih mencoba untuk mencari aman dengan garapan produksinya yang sangat terpoles dan terlalu rapi. Sensasi yang saya rasakan ketika mendengarkan lagu tersebut sepertinya tidak ada bedanya dengan mendengarkan lagu-lagu pop rock industri arus utama yang kerap diputar di stasiun radio ber-target audience kisaran umur 13 – 20 tahun.
Karena mau bagaimana lagi, saya masih meyakini konsep pop punk adalah musik punk rock yang dibalut manisnya harmonisasi vokal tanpa mengurangi intensitas dan sloppiness dari punk rock itu sendiri. Setidaknya formula itu yang membuat Green Day (era sebelum American Idiot) atau bahkan Rocket Rockers (era Ucay) berhasil menjadi band pop punk yang sukses secara organik. Mereka memainkan musik yang nuansanya mudah dicerna oleh publik tanpa melonggarkan atau memoles kualitas lagunya lebih lembut demi menggaet perhatian para pendengar populis.
Tapi kalau menoleh ke perspektif selera populis di luar parameter musik tersebut, sepertinya nuansa musik yang Anarcute sajikan lewat “Cintagram” rasanya bisa mudah dinikmati oleh kuping pendengar musik arus utama atau para penggemar pop punk yang satu kiblat dengan preferensi musik dari Anarcute sendiri. Singkatnya, single terbaru Anarcute tersebut memang lebih cocok untuk dinikmati oleh kalangan yang lebih populis. Sorry, pop punk/punk rock purists, you’re out of the game on this one.
Meski nuansa lagunya memang cocok untuk pendengar populis, penggarapan musik yang Anarcute kerjakan pada lagu-lagunya, termasuk “Cintagram”, nyatanya memang berjalan secara organik. Kery Astina (bassist + vokalis Anarcute) menjelaskan, “Sebenernya gua enggak pernah kayak ‘Anarcute harus gini!’ sama anak-anak. Ngikutin gimana mood lagunya aja”. Ketika saya tanya bagaimana pendapatnya perihal opini publik mengenai musik Anarcute secara umum, Kery pun menambahkan, “Gue mikir, kenapa gue harus mikirin apa kata orang gitu. Sedangkan yang gua mau emang kayak gini. Jadi dari pada mikirin omongan orang, mending kita jujur aja. Entah orang mau beda selera atau gimana. Ya biarin gitu”.
Respon tersebut tentunya merupakan reaksi yang bijak mengingat bahwa pada akhirnya setiap orang punya selera musiknya masing-masing. Dan untuk konteks pop punk sendiri, kejengahan akan sound yang medioker dipastikan akan selalu hadir pada setiap eranya masing-masing dan lambat laun para pelaku atau bahkan pendengarnya akan kembali menggali akar subkulturnya untuk berkontemplasi mengenai esensi terdalam dari musik tersebut. Mengaitkan dengan konsep tersebut, sebetulnya apa yang Anarcute lakukan di segi musikalitasnya bukanlah sepenuhnya hal yang buruk, mengingat pop punk adalah salah satu musik yang formatnya kerap kali berubah seiring perubahan tren di zamannya.
Pendekatan yang Anarcute lakukan terhadap musik dan pendengarnya memang diproyeksikan untuk kesesuaian zaman sekarang dan apabila dilihat dari kacamata punk rock tentunya tidak selalu masuk akal. Namun untuk segmen yang lebih populis, mereka berhasil melakukan misinya secara efektif. Setidaknya fenomena pop rock berlabel pop punk ini harus diamati melalui sudut pandang yang lebih lentur guna menghindari dikotomi yang sempit.
Sebelum menutup obrolan dengan Kery, saya sempat menanyakan rencana apa lagi yang Anarcute akan eksekusi setelah rilisnya “Cintagram”. “Paling kita bakalan bikin merch nih. Soalnya semua biaya produksi (rekaman dan video klip) kita masih sendiri nih. Jadi biar semua (biayanya) bisa kebagi rata dan enggak ada yang terberatkan,” ujar Kery. There you go, buat kamu yang suka Anarcute dan ingin segera punya merchandise-nya. Segera ditunggu kehadirannya.